Category Archives: As-Sunnah

Hakekat kecintaan terhadap Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam

Oleh: al-Ustadz Abu Mu’awiyah Hammad Hafizhahullahu ta’ala

Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin -semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita bersama pada perkara yang Dia cintai dan Dia ridhoi, sesungguhnya Nabi kita Muhammad –Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam– memiliki banyak hak atas kita selaku ummatnya. Dan termasuk hak beliau yang terbesar adalah harusnya kita mencintai beliau dengan kecintaan yang tulus, karena kecintaan kepada beliau adalah tanda kesempurnaan iman. Baca lebih lanjut

2 Komentar

Filed under As-Sunnah, Manhaj, Manhaj Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, Mengenal Råsulullåh, Tiga Landasan Utama, Ushul Ahlus-sunnah

Hak-hak Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam atas umatnya

Seorang muslim yang mengikrarkan syahadat berarti telah yakin bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu dia harus mengetahui kewajibannya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai konsekuensi persaksian bahwa beliau adalah utusan Allah.

Baca lebih lanjut

Tinggalkan komentar

Filed under Aqidah, As-Sunnah, Manhaj, Manhaj Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, Tauhid Uluhiyyah, Ushul Ahlus-sunnah

Dengan apakah engkau hendak memahami al-qur’an dan as-sunnah?

Muqaddimah

Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup. Keselamatan hidup kita, dunia dan akhirat, hanya akan diperoleh dengan cara kita tunduk dan patuh kepada keduanya.

Namun kenyataan di lapangan menunjukan bahwa kaum muslimin terpecah-belah dalam berbagai pemahaman. Semua mengklaim dirinyalah yang berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Masing-masing mengaku paling benar dan menyalahkan orang lain yang menyelisihinya.

Pertanyaan kita adalah siapakah yang paling benar dan paling tepat dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga kita tidak boleh meyelisihi mereka?

Jawabannya adalah para sahabat Nabi (Ridwanullåh ‘alaihim jamiy’an). Para sahabat (Radhiyallåhu ta’ala ‘anhum ajma’in) itulah orang-orang yang paling paham tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah karena mereka hidup di zaman turunnya kedua wahyu tersebut kepada Nabi. Maka wajib bagi kita mengikuti petunjuk dan bimbingan mereka. [1. Muqaddimah ini dikutip dari muqaddimah artikel: “As-Salaf As-Shalih Rujukan Dalam Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah” Majalah Fatawa, yang dinukil dari: as-Sunnah Qatar]

Baca lebih lanjut

Tinggalkan komentar

Filed under As-Salafiyyah, As-Sunnah, Manhaj, Manhaj Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, Ushul Ahlus-sunnah

Memaknai dan Memahami Syahadat “Muhammadur Råsulullåh”

Syahadat La Ilaha Illallah dan syahadat Muhammad Rasulullah adalah satu rukun yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain, dan keduanya menjadi satu rukun walaupun terdiri dari dua bahagian. Sebab seluruh ibadah dibangun di atas keduanya, maka tidaklah diterima ibadah itu kecuali ikhlas untuk Allah ‘Azza Wa Jalla, dan ini adalah kandungan dari syahadat La Ilaha Illallah, dan ittiba’ ‘mengikuti’ Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , dan ini adalah kandungan dari syahadat Muhammad Rasulullah.

Karena itu, mengetahui makna, kandungan dan konsekuensi (keharusan) syahadat Muhammad Rasulullah sangatlah penting sebagaimana syahadat La Ilaha Illallah. Seseorang, kalau mau masuk Islam, harus mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut, kemudian wajib memahami dan mengamalkan kedua syahadat tersebut lahir dan batin, dan wajib mengulangi kedua syahadat tersebut minimal sembilan kali dalam sehari semalam.

Syahadat Muhammad Rasulullah,atau dengan redaksi yang lebih lengkap Muhammad ‘Abdullahi wa Rasuluhu ‘Muhammad adalah hamba Allah dan rasul-Nya’, mempunyai dua dasar pokok yang satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu kesatuan.

Pokok pertama , menyamakan kedudukan Muhammad sama dengan semua makhluk di hadapan Allah walaupun derajatnya berbeda.

Pokok kedua , membedakan kedudukan Muhammad dengan mahluk yang lain karena beliau adalah seorang rasul.

Hal ini dapat kita lihat dalam firman Allah Jalla Jalaluhu dalam akhir surah Al-Kahfi,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ

“Katakan (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya saya hanyalah manusia biasa sepeti kalian yang diberikan wahyu kepadaku bahwasanya sesembahan kalian hanyalah sesembahan yang Esa.’.”

[ Al-Kahfi: 110 ]

Kemudian dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit yang diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ…

“Siapa yang bersyahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah semata, tidak ada serikat bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya ….”

Juga dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , ketika mengajarkan tasyahud kepada para shahabatnya, seperti ‘Abdullah bin Mas’ud dalam Shahih Al-Bukhary dan Shahih Muslim , Ibnu ‘Abbas dalam Shahih Muslim , dan Abu Musa Al-Asy’ary dalam Shahih Muslim , terdapat kalimat syahadatain yaitu,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.”

Kedudukan Muhammad Sebagai Hamba

Berkata Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah Alu Syaikh,

“Hamba maknanya adalah yang dimiliki, yang menyembah, yaitu dimiliki oleh Allah Ta’ala dan tidak mempunyai sedikit pun sifat-sifat Rububiyah dan Uluhiyah. Sesungguhnya dia (Muhammad) hanyalah seorang hamba yang dekat di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.”

[Lihat Taisir Al-’Aziz Al-Hamid hal. 81-82]

Jadi, kalau dia seorang hamba (budak), tidak boleh disembah (diibadahi) melainkan harus menyembah, dan kalau dia dimiliki, tidak boleh dimintai sebab syarat untuk dimintai adalah harus memiliki (Al-Malik). Karena itu, dia tidak mampu memberi manfaat atau mudharat, bahkan dia hanya meminta manfaat kepada Allah berupa hidayah, harta, ilmu, dan sebagainya, serta berlindung pada-Nya dari segala kejelekan (mudharat) makhluk-Nya.

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin,

“Dan keharusan dari syahadat ini adalah tidak boleh diyakini bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam punya hak dalam Rububiyah dan mengatur alam semesta atau punya hak dalam ibadah (hak untuk disembah). Bahkan dia (Rasulullah) seorang hamba, tidak disembah, dan Rasul tidak didustakan dan tidak memiliki sedikit pun kemampuan untuk memberi manfaat ataupun mudharat, baik kepada dirinya ataupun selain dirinya, kecuali apa yang Allah kehendaki sebagaimana firman Allah,

قُل لَّا أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Saya tidak mengatakan kepada kalian, bahwa di sisi saya perbendaharaan Allah, dan tidak (pula) saya mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) saya mengatakan kepada kalian bahwa saya seorang malaikat. Saya tidaklah mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.’.”

[ Al-An’am: 50 ]

Maka dia selaku hamba diperintahkan untuk mengikuti apa-apa yang diperintahkan dengannya. Kemudian firman Allah Ta’ala,

قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya saya tidak memiliki bagi kalian mudharat dan tidak pula petunjuk.’.”

[Al-Jin: 21]

Juga firman Allah Ta’ala,

قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Saya tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya saya mengetahui yang ghaib, tentulah saya membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan saya tidak akan ditimpa kemudharatan. Saya tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.’. .”

(al A’raaf: 188)

Lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul hal. 71.

Akan tetapi Allah menjadikan ‘ubudiyah ‘penghambaan’ sebagai sifat kesempurnaan makhluk-Nya dan menjadikan makhluk-Nya sebagai makhluk yang paling dekat kepada-Nya sebagaimana firman-Nya,

لَّن يَسْتَنكِفَ الْمَسِيحُ أَن يَكُونَ عَبْدًا لِّلَّهِ وَلَا الْمَلَائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ ۚ وَمَن يَسْتَنكِفْ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيَسْتَكْبِرْ فَسَيَحْشُرُهُمْ إِلَيْهِ جَمِيعًا

“Al-Masih sekali-sekali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak pula malaikat-malaikat terdekat-Nya. Barangsiapa yang enggan dari menyembah – Nya dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada – Nya.”

[ An-Nisa: 172 ]

Juga firman-Nya,

وَاذْكُرْ عَبْدَنَا دَاوُودَ

“Dan ingatlah hamba Kami Daud.”

[ Shad: 17 ]

Juga firman-Nya,

وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ

“Dan ingatlah hamba Kami Ayyub.”

[ Shad: 41 ]

Juga firman-Nya,

وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub.”

[ Shad: 45 ]

Juga firman-Nya,

وَوَهَبْنَا لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ

“Dan Kami telah berikan kepada Daud, Sulaiman sebaik-baik hamba.”

[ Shad: 30 ]

Allah menyifatkan makhluk-makhluk-Nya yang paling mulia dan yang paling tinggi kedudukannya di antara makhluk-makhluk-Nya dengan ‘Ubudiyah pada kedudukannya yang paling mulia.

Allah juga menyebutkan sifat ‘Ubudiyah pada kedudukan diturunkannya Al-Kitab kepada hamba-Nya dan menantang untuk mendatangkan sepertinya sebagaimana firman-Nya,

وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ

“Dan jika kalian ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami maka datangkanlah satu surah semisalnya.”

[ Al-Baqarah: 23 ]

Juga firman-Nya,

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا

“Maha berkah Allah yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya.”

[ Al-Furqan: 1 ]

Juga ayat-ayat lain yang semakna.

Allah menyebutkan sifat ‘Ubudiyah dalam kedudukan beribadah pada-Nya sebagaimana firman-Nya,

وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ

“Dan sesungguhnya tatkala hamba Allah berdiri, berdoa kepada-Nya ….”

[ Al-Jin: 19 ]

Kemudian Allah menyebutkan hamba-Nya dengan ‘ubudiyah pada kedudukan Isra`,

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلً

“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada satu malam.”

[ Al-Isra`: 1 ]

Selain itu, Allah menjadikan kabar gembira secara mutlak kepada hamba-hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,

وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَن يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَىٰ ۚ فَبَشِّرْ عِبَادِ . الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”

[ Az-Zumar: 17-18 ]

Allah juga menjadikan rasa aman secara mutlak bagi hamba-hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,

يَا عِبَادِ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ وَلَا أَنتُمْ تَحْزَنُونَ . الَّذِينَ آمَنُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا مُسْلِمِينَ

“Wahai hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadap kalian pada hari ini dan tidak pula bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan mereka dahulu adalah orang-orang yang berserah diri.”

[ Az-Zukhruf: 68-69 ]

Allah tidak memberi keleluasaan kepada syaithan untuk menguasai mereka (hamba-hamba-Nya) secara khusus kecuali yang mengikuti syaithan dan berbuat syirik kepada-Nya sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, tidak ada kekuasaan bagi kamu untuk mereka kecuali siapa yang mengikuti kamu dari orang-orang yang sesat.”

[ Al-Hijr: 42 ]

Juga firman-Nya,

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ . إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُم بِهِ مُشْرِكُونَ

“Sesungguhnya tidak ada kekuasaan baginya (syaithan) atas orang-orang yang beriman dan mereka bertawakkal kepada Rabb mereka. Sesungguhnya kekuasaannya (syaithan) hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya pemimpin dan orang-orang yang mempersekutukan Allah dengannya.”

[ An-Nahl: 99-100 ]

Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menjadikan ihsan ‘ubudiyah sebagai tingkatan paling tinggi dalam beragama, sebagaimana dalam hadits ‘Umar bin Al-Khattab, yang terkenal dengan “hadits Jibril”, yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam ditanya oleh Jibril tentang ihsan, beliau menjawab, “Kamu menyembah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kamu.”

Baca Madarij As-Salikin jilid 1 hal. 115-117.

Akan tetapi, ada satu hal yang sangat penting untuk diketahui, yaitu ‘ubudiyah kepada Allah tidak akan lepas (berhenti) dari seorang hamba selama hamba hidup di dunia, bahkan di alam barzakh dan di hari kemudian, walaupun ‘ubudiyah di dunia tentunya berbeda dengan ubudiyah di alam barzakh apalagi di hari kemudian. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu keyakinan.”

[ Al-Hijr: 99 ]

Juga firman-Nya kepada penduduk neraka,

وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ . حَتَّىٰ أَتَانَا الْيَقِينُ

“Dan dahulu kami mendustakan hari kemudian sampai datang kepada kami keyakinan.”

[ Al-Muddatstsir: 46-47 ]

Keyakinan yang dimaksud adalah kematian menurut kesepakatan para ulama Ahli Tafsir.

Juga di dalam Shahih Al-Bukhary tentang kisah kematian ‘Utsman bin Mazh’un, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Adapun ‘Utsman maka sesungguhnya telah datang kepadanya keyakinan dari Rabb-nya, yaitu kematian.”

Barangsiapa yang menyangka bahwasanya dia telah sampai pada kedudukan, yakni telah gugur pada dirinya kewajiban untuk menyembah, maka dia zindiq, kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab sesungguhnya dia telah sampai pada kedudukan kafir kepada Allah dan berlepas diri dari agama ini. Bahkan, seorang hamba, jika kedudukan dia semakin kuat dan kokoh dalam penghambaan, maka ‘ubudiyah-nya juga semakin besar dan kewajiban dari ‘ubudiyah-nya juga semakin banyak dan lebih besar daripada orang yang berada dibawahnya. Oleh karena itu, kewajiban Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , bahkan semua rasul, lebih besar dan lebih banyak daripada umat-umat mereka, kewajiban rasul-rasul Ulul ‘Azmi lebih banyak daripada rasul-rasul selain Ulul ‘Azmi, kewajiban Ahlul ‘Ilmi lebih besar daripada selain Ahlul ‘Ilmi. Hal ini menunjukkan bahwa setiap hamba tergantung pada kedudukannya (martabatnya).

Lihat Madarij As-Salikin jilid 1 hal. 118.

Kedudukan Muhammad Sebagai Rasul (Nabi)

Ahlus Sunnah Wal Jamaah menetapkan bahwasanya kenabian adalah pilihan dari Allah. Allah memilih nabi untuk hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Allah menghususkan nabi-Nya dengan rahmat-Nya, memilih nabi-Nya dengan keutamaan dan nikmat-Nya, dan bukan sekedar sifat-sifat tambahan, karena rahmat, keutamaan, dan nikmat-Nya terhadap nabi-Nya tidak bisa diperoleh dengan ilmu, latihan, banyaknya ibadah dan ketaatan, dan sebagainya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

مَّا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَن يُنَزَّلَ عَلَيْكُم مِّنْ خَيْرٍ مِّن رَّبِّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَن يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

“Orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepada kalian dari Rabb kalian. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat (kenabian)-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.”

[ Al-Baqarah: 105 ]

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan bahwasanya Dia memilih utusan-utusan dari para malaikat-Nya dan juga dari manusia. Dan إصطفاء ber-wazan إفتعال dari kata تصفية ‘pensucian’ sebagaimana إختيار ber-wazan افتعال dari kata الخيرة ‘pemilihan’, maka Dia mensucikan dan memilih siapa yang Dia inginkan sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-An’am ayat 124,

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.”

Maka Dia lebih tahu siapa yang pantas dijadikan utusan (rasul) dari (kalangan manusia) yang tidak dijadikan-Nya utusan.”

(Lihat Minhaj As-Sunnah 5/437)

Di tempat yang lain, beliau berkata, “Allah membersihkan/memilih dari malaikat-malaikat sebagai utusan-utusan dan dari manusia. Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia memberikan risalah-Nya, maka Allah menghususkan nabi-Nya dengan sifat-sifat yang membedakan nabi-Nya dengan makhluk lain dalam hal akal dan agama, dan nabi-Nya dipersiapkan untuk dikhususkan dengan keutamaan dan rahmat-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surah Az-Zukhruf ayat 31-32,

وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَٰذَا الْقُرْآنُ عَلَىٰ رَجُلٍ مِّنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ . أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Al-Qur`an ini tidak diturunkan kepada seorang pembesar (pada salah satu) dari dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu? Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabb-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” . ”

[az Zukhruf 31-32]

(Lihat Minhaj As-Sunnah 2/416. Perhatikan pula firman Allah dalam surah Al-Jin ayat 20-25)

Kedudukan Muhammad sebagai seorang rasul tidak boleh disamakan dengan kedudukan hamba Allah yang lain. Karena itu, sebagian ulama mengatakan bahwa didahulukannya kata عبده ‘hamba-Nya’ daripada kata رسوله ‘rasul-Nya’ dalam kalimat syahadat Muhammad Rasulullah adalah sebagai tanjakan dari bawah ke atas, dan dikumpulkannya kedua kata tersebut (hamba dan Rasul-Nya) adalah untuk menghindari dua kutub yang berbeda: kutub ifrath (ekstrim/berlebih-lebihan) dan kutub tafrith (menyepelekan), sebagaimana yang telah terjadi pada Isa ‘ alaihis salam , dan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menguatkan makna ini dengan sabdanya dalam hadits ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim,

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ الله وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang Nashara berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam, karena sesungguhnya saya hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.”

(Lihat Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid hal. 82)

Orang-orang Nashara melakukan ifrath, berlebih-lebihan dalam memuliakan dan memuji Nabi Isa, dan berbanding terbalik dengan cara orang-orang Yahudi yang melakukan tafrith dalam bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap Nabi Isa.

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Makna syahadat Muhammad Rasulullah adalah menetapkan, (dengan perbuatan) melalui lisan dan (dengan) iman melalui hati, bahwasanya Muhammad bin ‘Abdullah Al-Qurasy Al-Hasyimy adalah utusan Allah ‘Azza wa Jalla kepada seluruh makhluk dari kalangan jin dan manusia, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”

[ Adz-Dzariyat: 56 ]

Tidak ada ibadah kepada Allah kecuali dengan perantara wahyu yang Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam telah datang dengan wahyu tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا

“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur`an) kepada hamba-Nya agar menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.”

[ Al-Furqan: 1 ]. ”

Konsekuensi Syahadat Muhammad Rasulullah

Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah, dalam Al-Ushul Ats-Tsalatsah , menetapkan empat perkara yang merupakan konsekuensi (keharusan dan tuntutan) dari makna syahadat Muhammad Rasulullah:

Pertama, menaati Rasulullah pada apa yang beliau perintahkan.

Allah ‘Azza wa Jalla telah menetapkan wajibnya taat kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam di dalam Al-Qur`an dan sunnah, serta menggandengkan antara ketaatan pada-Nya dengan ketaatan kepada Rasul-Nya di dalam banyak ayat, di antaranya,

أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman.”

[ Al-Anfal: 1 ]

Juga di dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنتُمْ تَسْمَعُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berpaling dari-Nya sedang kalian mendengar (perintah-perintah-Nya).”

[ Al-Anfal: 20 ]

Siapa yang durhaka kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada Allah, dan siapa yang durhaka kepada Allah maka tempatnya adalah neraka, sebagaimana firman-Nya,

مَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang sangat besar.”

[ An-Nisa`: 13 ]

Kemudian dalam ayat berikutnya,

وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ

“Dan barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan melampaui batasan-batasan-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka, dia kekal di dalamnya dan baginya adzab yang menghinakan.”

[ An-Nisa`: 14 ]

Selain itu, dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ : مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدَ أَبَى

“Semua ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan. Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah siapakah yang enggan?’ Rasulullah menjawab, ‘Siapa yang menaatiku maka dia masuk surga, dan siapa yang mendurhakaiku maka sesungguhnya dia enggan.’.”

Lalu, dalam hadits Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, disebutkan,

فَمَنْ أَطَاعَ مُحَمَّداً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَى مُحَمَّداً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ عَصَى اللهَ

“Siapa yang menaati Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah menaati Allah, dan siapa yang mendurhakai Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah mendurhakai Allah.”

Kedua, membenarkan apa yang Rasulullah kabarkan/beritakan.

Sesungguhnya apa yang Rasulullah bawa semuanya adalah benar, karena merupakan wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana firman-Nya,

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ . إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

“Dan dia ( Rasulullah) tidak berbicara dari hawa nafsunya, kecuali itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”

[ An-Najm: 3-4 ]

Juga Firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

[ Az-Zumar: 33 ]

Kemudian dalam surah lain,

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُم مِّن كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُّصَدِّقٌ لِّمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنصُرُنَّهُ ۚ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَىٰ ذَٰلِكُمْ إِصْرِي ۖ قَالُوا أَقْرَرْنَا ۚ قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُم مِّنَ الشَّاهِدِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman, ‘Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakui.’ Allah berfirman, ‘Kalau begitu, saksikanlah, (wahai para nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian.’.”

[ Âli ‘Imran: 81 ]

Juga ijma’ para ulama bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam itu ma’shum ‘terjaga’ dari dusta.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah -nya, “Kemudian rasul-rasul yang benar dan dibenarkan.”

Ketiga, menjauhi apa yang Rasulullah larang dan peringatkan, sebagaimana firman Allah Ta’ala ,

مَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“Dan apa yang Rasululah datangkan kepada kalian maka ambillah, dan apa yang dilarang atas kalian darinya maka jauhilah, dan bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.”

[ Al-Hasyr: 7 ]

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْىءٍ فَاجْتَنَبُوْهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Dan jika saya melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan jika saya memerintah kalian kepada sesuatu maka datangkanlah (lakukanlah) sesuai kemampuan kalian.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ary yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim,

إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى قَوْمًا فَقَالَ يَا قَوْمِ إِنِّيْ رَأَيْتُ الْجَيْشَ بِعَيْنَيَّ وَإِنَّيْ أَنَا النَّذِيْرُ الْعُرْيَانُ

“Sesungguhnya perumpamaan aku dan perumpumaan apa yang Allah mengutus aku dengannya, seperti seseorang yang mendatangi suatu kaum kemudian berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya saya melihat pasukan dengan kedua mataku dan sesungguhnya saya adalah An-Nadzir Al-‘Uryan*

فَالنَّجَاءَ فَأَطَاعَهُ طَائِفَةٌ مِنْ قَوْمِهِ فَأَدْلَجُوْا فَانْطَلَقُوْا عَلىَ مَهْلِهِمْ

Maka sekelompok dari kaumnya menaatinya dan bergegas berjalan di malam hari dengan kehati-hatian dan mereka selamat

فَنَجَوْا وَكَذِبَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ فَأَصْبَحُوْا مَكَانَهُمْ فَصَبَّحَهُمُ الْجَيْشُ فَأَهْلَكَهُمْ وَاجْتَاحَهُمْ

Sementara sekelompok dari mereka mendustakannya, sehingga mereka tetap di tempatnya, maka pasukan itu menyerangnya di waktu Shubuh, lalu menghancurkan dan membinasakannya.

فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ أَطَاعَنِيْ فَاتَّبَعَ مَا جِئْتُ بِهِ وَمَثَلُ مَنْ عَصَانِيْ وَكَذَبَ بِمَا جِئْتُ بِهِ مِنَ الْحَقِّ

Yang demikian itu perumpamaan orang yang menaatiku dan mengikuti apa yang aku didatangkan dengannya, dan perumpamaan orang yang bermaksiat kepadaku dan mendustakan apa yang aku didatangkan dengannya dari kebenaran.”

*An-Nadzir Al-‘Uryan adalah perumpamaan yang dipakai oleh orang-orang untuk menunjukkan kebenaran apa yang ia sampaikan.

Keempat, tidak menyembah Allah ‘Azza wa Jalla kecuali dengan apa yang Dia syariatkan.

Bukan (menyembahNya) dengan bid’ah, bukan pula dengan hawa nafsu, adat istiadat, kebiasaan, perasaan, atau anggapan-anggapan yang seseorang pandang baik, karena sesungguhnya asal dari ibadah itu adalah syariat. Nanti dikatakan ibadah kalau disyariatkan.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Maka siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan Rabb-nya dengan siapa pun dalam peribadahan.”

[ Al-Kahfi: 110 ]

Para ulama menafsirkan bahwa amal shalih adalah amal yang sesuai dengan syariat Allah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.”

[ Al-Maidah: 3 ]

Ayat ini menunjukkan bahwasanya agama ini telah sempurna dengan tauhid, syariat, akhlak, dan seluruh apa yang dibutuhkan oleh makhluk di muka bumi ini. Itulah nikmat yang paling besar. Al-Qur`an dan petunjuk Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam itulah yang diridhai di sisi Allah.

(Maka) barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama ini, dan mensyariatkan suatu syariat yang tidak disyariatkan oleh Allah dan menjadikan syariat tersebut sebagai jalan selain jalan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , maka sesungguhnya dia telah melecehkan Allah atau kitab-Nya, baik dalam keadaan sadar maupun tidak, karena sesungguhnya Allah telah mengabarkan bahwa Dia telah menyempurnakan agama-Nya.

(Sesungguhnya) kebaikan dan nikmat (kesempurnaan itu) terdapat dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam, serta sikap berpegang teguh terhadap Kitabullah dan sunnah tersebut.

Sebagai kesimpulan, berkata Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah,

“Maka, dengan ini, kamu mengetahui bahwasanya tidak berhak ibadah itu diperuntukkan. Tidak kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , tidak pula kepada selainnya dari seluruh makhluk. Ibadah itu tidak boleh diperuntukkan kecuali hanya kepada Allah semata.

Dan bahwasanya hak Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam adalah, kamu memberikan kedudukan kepadanya sesuai dengan kedudukan yang Allah berikan/tetapkan padanya, yaitu sebagai hamba-Nya dan Rasul-Nya.”

(Lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul hal. 72)

Wallahu waliyyut taufik.

Tinggalkan komentar

Filed under Aqidah, As-Sunnah, Manhaj, Manhaj Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, Mengenal Råsulullåh, Tiga Landasan Utama, Ushul Ahlus-sunnah

Siapakah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah?

Dewasa ini marak pengakuan dari berbagai pihak yang mengklaim dirinya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sehingga menyebabkan adanya kerancuan dan kebingungan dalam persepsi banyak orang tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu ? Baca lebih lanjut

Tinggalkan komentar

Filed under As-Salafiyyah, As-Sunnah, Manhaj Ahlus-Sunnah wal Jama'ah

As-Sunnah Dan Para Penentangnya Di Masa Lalu dan Masa Sekarang

A. AS-SUNNAH & PARA PENENTANGNYA DI MASA LALU

Dalil-dalil yang telah dikemukakan dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ sangatlah jelas bahwa tidak boleh bagi siapa pun menolak Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan hanya berpegang kepada Al-Qur’an saja. Merupakan suatu hal yang mustahil bagi orang yang berkata bahwa ia kembali kepada Al-Qur’an & As-Sunnah tetapi ia sendiri menolak dalil-dalil As-Sunnah dengan alasan tidak sesuai dengan akal. Adapun sebagian mereka yang menolak As-Sunnah karena memang belum jelas baginya kedudukan As-Sunnah dalam syari’at, atau karena kebodohannya,maka kepada orang seperti ini harus diberikan pemahaman melalui proses wajib belajar. Sedangkan bagi mereka yang menolaknya dengan sengaja dan terang2an mengingkari hujjah-hujjah As-Sunnah padahal ia mengetahui wajibnya berpegang kepada As-Sunnah, maka orang ini adalah kafir, setelah terpenuhi syaratnya & tidak ada penghalang yang membuat ia menjadi kafir. (Kedudukan As-Sunnah Dalam Syari’at Islam, hlm 62, Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
Baca lebih lanjut

Tinggalkan komentar

Filed under As-Sunnah, Manhaj, Manhaj Ahlul-Bid'ah wal Furqåh, Manhaj Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, Ushul Ahlus-sunnah

8 Kaidah Memahami As-Sunnah

Mengkaji Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar setelah mengkaji al-Qur’an adalah salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena seorang muslim tidak bisa melepaskan diri dari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan sumber hukum kedua dalam agama Islam di samping al-Qur’an.
Baca lebih lanjut

Tinggalkan komentar

Filed under As-Sunnah, Manhaj, Manhaj Ahlul-Bid'ah wal Furqåh, Manhaj Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, Ushul Ahlus-sunnah

Hujjah dari Al-Qur’an dan Al-Hadits Mengenai As-Sunnah

Ummat Islam sepakat bahwa apa saja yang datang dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam baik ucapan, perbuatan, atau taqrir yang sampai kepada kita dengan jalan Mutawatir dan Ahad dengan sanad yang shahih, maka wajib bagi kita untuk menerimanya dan mengamalkannya. Pemberian istilah Mutawatir dan Ahad adalah untuk menunjukkan nilai sanadnya, bukan untuk membolehkan kita menimbang-nimbang dalam menerima dan menolak dalil-dalil tersebut.

As-Sunnah yang qath’iy dan zhani adalah sebagai hujjah bila sanadnya shahih, karena As-Sunnah sebagai sumber pembentukkan hukum Islam yang oleh para ulama dan mujtahidin dijadikan sebagai rujukan istimbath dan hukum syari’at. dengan kata lain, hukum-hukum yang ada pada As-Sunnah adalah merupakan hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an, yang fungsinya sebagai hukum dan perundang-undangan yang harus ditaati. Baca lebih lanjut

Tinggalkan komentar

Filed under As-Sunnah, Manhaj, Manhaj Ahlul-Bid'ah wal Furqåh, Manhaj Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, Ushul Ahlus-sunnah

Definisi As-Sunnah secara Bahasa dan Syari’at

1. Definisi As-Sunnah Secara Bahasa

Menurut etimologi (bahasa) Arab, kata As-Sunnah diambil dari kata-kata:

“sanna-yasinnu-wayasunnu-sannaa fahuwa masnuunu wajam’uhu sunanu. wasanna al-amro aiy bayyanah”

a] Artinya: “Menerangkan”

b] Sunnah artinya: “Sirah, tabi’at, jalan”

c] Sunnah dari Allah artinya: “Hukum, perintah dan larangan-Nya.” [Al-Qamusul Muhith (IV/231), Lisanul Arab (VI/399-400) dan Mukhtaarush Shihaah (hal. 317).]

Menurut bahasa, kata As-Sunnah berarti jalan, atau tuntunan baik yang terpuji maupun yang tercela, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:

“Artinya : Barangsiapa yang memberi teladan (contoh) perbuatan yang baik, ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut serta pahala orang yang mengikutinya (sampai hari Kiamat) tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Barangsiapa yang memberikan contoh kejelekan, maka ia akan mendapatkan dosa perbuatan tersebut serta dosa orang-orang yang mengikutinya (sampai hari Kiamat) tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun”

[Hadits shahih riwayat Ahmad (IV/357, 358, 359, 360, 361, 362), Muslim (no. 1017), an-Nasa’i (V/76-77), ad-Darimi (I/ 130-131), Ibnu Majah (no. 203), Ibnu Hibban (no. 3308), at-Ta’liiqatul Hisaan ’ala Shahih Ibni Hibban (no. 3297), ath-Thahawi dalam al-Musykiil (no. 243), ath-Thayalisi (no. 705) dan al-Baihaqi (IV/175-176), dari Shahabat Jarir bin ’Abdillah Radhiyallahu ’anhu.] Baca lebih lanjut

Tinggalkan komentar

Filed under As-Sunnah, Manhaj, Manhaj Ahlul-Bid'ah wal Furqåh, Manhaj Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, Ushul Ahlus-sunnah

Kedudukan As-Sunnah Dalam Syari’at Islam

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Qur-an kepada Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan hak dan wewenang untuk menjelaskan Al-Qur-an, sehingga dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah manusia mendapat petunjuk ke jalan yang lurus (ash-Shirath al-Mustaqim). Tidak ada jalan yang benar melainkan jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, berdakwah (mengajak) ummat Islam untuk berpegang kepada keduanya, serta konsekuen dan konsisten di atas keduanya.

Baca lebih lanjut

Tinggalkan komentar

Filed under As-Sunnah, Manhaj, Manhaj Ahlul-Bid'ah wal Furqåh, Manhaj Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, Ushul Ahlus-sunnah