Keutamaan orang-orang yang senantiasa menjaga dirinya dari segala dosa

Obat bagi yang kecanduan akan maksiat

Hal ini berangkat dari pertanyaan: “Mana yang utama: orang yang mengerjakan seluruh kewajiban plus banyak amalan naafilah, tapi mencampurnya dengan kemaksiatan? Ataukah orang yang mengamalkan seluruh kewajiban (dengan hanya sedikit amalan naafilah), tapi menjauhi seluruh dosa?”

Dijawab: “Yang paling utama dari mereka adalah yang paling jauh dari maksiat (meskipun mereka hanya melakukan ketaatan yang wajib-wajib saja). Karena mereka menjaga diri mereka dari kotoran-kotoran hati. Maka ketika mereka mengerjakan hal-hal yang waajib, pahala mereka berlipat ganda karena dilaksanakan dengan kebersihan hati. Amalan mereka sederhana, tapi pahala mereka melampaui orang-orang yang bersemangat dalam naafilah (tapi mencampurkan amalannya dengan berbagai maksiat)

Adapun orang-orang yang mengerjakan banyak amalan naafilah disamping amalan waajib; tapi masih mencampurkan amalannya dengan maksiat… Maka ada beberapa kekhawatiran:

(1) Maksiatnya ini mempengaruhi kualitas ketaatannya, sehingga meskipun kuantitasnya banyak, tapi pahalanya sedikit karena kotornya hati ketika mengerjakan ketaatan tersebut (tidak ada khusyu didalamnya)

(2) Bahkan… Bisa jadi maksiatnya ini (apabila telah akut)[1] malah mengantarkannya kepada peninggalan ketaatan, bahkan meninggalkan yang wajib-wajib! Atau bahkan yang paling dikhawatirkan bisa jadi ini menjadi langkah awal keluarnya dia dari agama ini! (Na’uudzubillaah)

(3) Kekhawatiran lainnya adalah penunaian ketaatannya tersebut hanya kamuflase semata… Itu semua dikerjakannya bukan untuk Allaah; tapi untuk berhias dihadapan manusia. Mengapa bisa begitu? Kalaulah ketaatannya tersebut adalah karenaNya, maka tentulah di kala sendiri pun ia akan menghiasi dirinya dengan ketaatan dan tidak memaksiatiNya.

Maka hendaknya kita khawatir dengan penunaian maksiat-maksiat kita… Jangan sampai kita memandang remeh untuk memaksiati Allaah, karena silau dengan banyaknya ketaatan kita…

Sungguh Allaah tidak butuh dengan ketaatan kita… Kitalah yang butuh rahmatNya! Dan rahmat Allaah itu dekat bagi mereka yang menahan hawa nafsunya dihadapan Rabb yang tidak dilihatnya…

Semoga Allaah menjadikan kita termasuk hamba-hambaNya yang jujur dalam ketaatan… Yang tidak malah berlaku khianat ketika malah bersendirian denganNya[2]… Aamiin


Catatan Kaki

[1] Jangan anggap remeh penyakit akut akan ketagihan bermaksiat. Karena Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

أَهْلُ النَّارِ خَمْسَةٌ: الضَّعِيفُ الذي لا زَبْرَ لَهُ

“Penghuni neraka ada 5 macam, yang pertama adalah orang lemah yang tidak memiliki zubraa (keinginan keras untuk taat pada agama)… ” (HR. Muslim 2865).

Ali Al Qari menjelaskan:

“maksudnya orang yang tidak punya pikiran dan akal untuk berpikir yang bisa mencegahnya untuk melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan”

(Mirqatul Mafatih, 7/3107; sumber petikan)

Beliau juga menjelaskan:

“At Turibisyti berkata: ‘maksudnya yaitu ia tidak bisa istiqamah, karena jika maknanya adalah tidak punya akal, maka artinya tidak ada taklif baginya. Lalu bagaimana mungkin ia dihukumi sebagai penghuni neraka’. Dan aku melihat bisa juga ditafsirkan dengan: tidak tamaasuk (berpegang teguh pada ajaran agama). Karena para ahli bahasa mengatakan bahwa ‘laa zubra‘ artinya tidak ber-tamaasuk; dan ini sesuai dengan kata asalnya. Sehingga kesimpulan maknanya: ‘laa zubra‘ artinya tidak berpegang teguh pada ajaran agama ketika datang godaan syahwat sehingga ia tidak menolak melakukan keburukan dan enggan wara’ terhadap perkara yang haram”

(Mirqatul Mafatih, 7/3107; sumber petikan)

[2] Sebentar lagi kita akan mendapati kata-kata ‘amanah’ begitu mudahnya diucapkan dan dijadikan barang dagangan.

Adakah orang-orang yang melariskan hal ini mengetahui betapa beratnya kalimat tersebut?

Tidaklah mungkin seorang dapat menjadi amanah, kecuali sebelumnya didahului dengan kekonsistenannya dalam jujur (dalam perkataan dan perbuatan) ! Bagaimanakah kita dapat mengharapkan seseorang untuk menjadi ‘amanah’, sedangkan dia adalah seorang yang kita dapati senantiasa berdusta (dalam perkataan dan perbuatannya) serta senantiasa mengingkari janji ?!

Bahkan bagaimanakah seseorang dapat mengharapkan dirinya amanah terhadap orang lain? Sedangkan terhadap Tuhannya sendiri dia berlaku sering berlaku dusta lagi khianat?

Ditampakkan kebaikan hanya ketika berada dihadapan manusia…tapi ketika ia tidak dilihat manusia; dia tidak segan-segan memaksiati Allaah Yang Maha Melihat lagi Maha Mengawasi perbuatannya.

Bagaimanakah manusia hendak meng’amanah’kan sesuatu pada orang yang terhadap Tuhannya sendiri khianat? Demi Allaah… Apabila terhadap Tuhannya sendiri dia tidak jujur dan tidak amanah, maka kepada manusia dia lebih-lebih lagi tidak akan jujur dan tidak akan amanah.

Maka tidak heran betapa banyaknya kita dapati manusia yang mengobral janji, tapi setelahnya ia malah menyalahi. Tidak heran pula kita mendapati seseorang yang mengobral kata ‘amanah’, tapi setelahnya ia malah berkhianat.

Jadikanlah hal diatas sebagai RENUNGAN DIRI (sebelum hati kita mengarahkan hal ini kepada orang lain)… Maka hendaknya kita berusaha untuk senantiasa berlaku jujur dihadapan Allaah, agar semoga kita dapat termasuk orang-orang yang amanah akan tanggung jawab yang dibebankanNya pada kita…

Denngan ini pula hendaknya kita berwaspada terhadap para pendusta, pengingkar janji dan para pengkhianat… Hendaknya kita memohon kepada Allaah agar jangan sampai kita dikuasakan orang-orang yang suka berdusta, menyalahi janji, lagi berkhianat. Semoga Allaah memperbaiki diri-diri kita dan orang-orang sekitar kita. Aamiin.

Tinggalkan komentar

Filed under Tazkiyatun Nufus

Tinggalkan komentar