Salah kaprah dalam memahami “Bid’ah hasanah”

Inilah perkataan yang sering dilontarkan ahlul hawa (pengikut hawa nafsu) yang ingin membenarkan amalan-amalan bid’ah yang mereka lakukan dengan dalih bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, namun ada bid’ah yang baik (hasanah), perkataan inilah yang sering mereka nisbatkan dan sandarkan kepada madzhab syafi’i. Maka marilah kita lihat bagaimana pandangan Imam Syafi’i dan Ulama-ulama yang bermadzhab syafi’iyyah mengenai hal ini.

Harmalah bin Yahya meriwayatkan :

سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : ( البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف السنة فهو مذموم )

”Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela

[Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H]

Dari perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i diatas itulah yang menjadi sandaran kebanyakan orang yang ‘mengaku’ bermadzhab syafi’iyyah, yang ternyata perkataan inilah yang membantah mereka sendiri.

Kalaulah kita mendefinisikan secara terperinci apa yang dimaksud dengan ‘yang sesuai dengan sunnah’ dan apa yang dimaksud dengan ‘yang menyelisihi sunnah’ (bid’ah) maka perkataan diatas sejalan dengan hadits Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam, yang mana beliau bersabda, yang artinya:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Shåhih, HR. Muslim no. 867)

Sesungguhnya tidak ada pertentangan dari sabda Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam diatas, dengan perkataan imam asy-syafi’i, Seperti yang telah dinyatakan diatas. Karena, jika kita mendefinisikan dan menempatkannya secara benar mengenai maksud bid’ah tersebut, maka akan kita temukan bahwa ternyata keduanya akan sejalan tanpa ada pertentangan.

Pelurusan Definisi Bid’ah secara Bahasa Dan Maknawi

1. Pengertian bid’ah dalam kacamata bahasa (lughah) lebih umum dibanding makna syar’inya. Antara dua makna ini ada keumuman dan kekhususan yang mutlak, karena setiap bid’ah syar’iyyah masuk dalam pengertian bid’ah lughawiyyah, namun tidak sebaliknya, karena sesungguhnya sebagian bid’ah lughawiyyah seperti penemuan atau pengada-adaan yang sifatnya materi tidak termasuk dalam pengertian bid’ah secara syari’at [Lihat Iqhtidlaush Shirathil Mustaqim 2/590]

Contohnya yaitu, adanya sarana-sarana baru dalam agama, seperti pesawat terbang, bus, mobil atau alat transportasi lainnya yang memudahkan jama’ah haji dalam perjalanan hajinya, adanya microphone untuk memudahkan orang mendengarkan adzan, adanya telefon untuk memudahkan silaturahmi, adanya internet untuk dapat memudahkan dakwah, dan berbagai hal-hal baru yang dapat membantu kaum muslimin dalam menjalankan dan mengamalkan syari’at ini.

Benar ini adalah Bid’ah, karena dahulu sarana-sarana semacam ini tidaklah ada sebelumnya, namun perlu diketahui penggunaan sarana ini tidaklah mengubah/menambah amalan atau syari’at baru yang telah sempurna. Jadi hal ini bukanlah termasuk bid’ah yang sesat, seperti yang disabdakan oleh Råsulullåh shållallåhi ‘alaihi wa sallam.

2. Jika dikatakan bid’ah secara mutlak, maka itu adalah bid’ah syar’iyyah, inilah yang dimaksud oleh hadits “Setiap bid’ah itu sesat”, yang bid’ah disini bermakna,

“Suatu cara baru dalam beragama yang menyerupai syari’at dan menanggapnya bagian dari syari’at, yang dimana tujuan dibuatnya adalah untuk beribadah kepada Allah, yang sebelumnya belum pernah sama sekali ada petunjuk dan tuntunan dari Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam”

Dan bid’ah lughawiyyah tidak termasuk di dalamnya, oleh sebab itu sesungguhnya bid’ah syar’iyyah disifati dengan dlalalah (sesat) dan mardudah (ditolak). Pemberian sifat ini sangat umum dan menyeluruh tanpa pengecualian, berbeda dengan bid’ah lughawiyyah, maka jenis bid’ah ini tidak termasuk yang dimaksud oleh hadits : “Setiap bid’ah itu sesat”, sebab bid’ah lughawiyyah (bahasa) itu tidak bisa diembel-embeli sifat sesat dan celaan serta serta tidak bisa dihukumi ditolak dan batil.

Inilah yang disebut Imam Asy-Syafi’i Bid’ah yang tercela, karena ini telah menyelisihi syari’at yang dibawa oleh Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam. (seperti dalam pendefinisian beliau, bahwa bid’ah yang tercela adalah yang menyelisihi syari’at).

Dalam sabda, Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam,

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya..

كُلَّ “kullu”, yang dimaksudkan adalah ‘semua tanpa terkecuali’, Asy-Syatibhi mengatakan,

“Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.”

(Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaa pun menguatkan hadits diatas dengan berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)

Taruhlah jika mereka tetap kekeuh bahwa tidak setiap bid’ah adalah sesat. Maka bagaimanakah mereka jika dihadapkan dengan lafazh hadits berikut?

كل بدعة ضلالة و كل ضلالة في النار

..wa kullu bid’atin dhålaalah, wa KULLU DHÅLAALATIN finn-naar

“Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”

[HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang SHÅHIYH]

Maka dengan mengganti arti “KULLU” dengan ‘sebagian’, maka makna hadits diatas akan menjadi:

“SEBAGIAN bid’ah adalah kesesatan, dan SEBAGIAN KESESATAN tempatnya di neraka”

Maka kita tanyakan: “Apakah ada kesesatan yang membawa ke surga?” Allåhul musta’aan, cukuplah ini menjadi hujjah yang nyata bagi orang-orang yang berpikir!

Bantahan Terhadap “Dalil-Dalil Pendukung” Bid’ah Hasanah

Lalu bagaimanakah bid’ah hasanah yang sering digembar-gemborkan dengan menggunakan sabda Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam, perkataan ‘Umar bin Khåttab, perkataan imam asy-syafi’i, perkataan ibnu mas’ud, dan perkataan Al ‘Izz?

Maka hal ini, insya Allåh akan kita bahas secara mendalam,

1. Pemahaman mereka terhadap hadits,

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

”Barang siapa yang memberi contoh yang baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelah itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa memberi contoh yang buruk dalam Islam maka dia akan mendapatkan beban dosanya serta dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi beban mereka sedikitpun.” (HR. Muslim no: 1017).

Bantahan:

– Yang dimaksud dengan مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً adalah

“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah (yang sudah ada, dan telah dicontohkan Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam). Bahkan, asbabul wurud dari hadits diatas yaitu ketika salah seorang shahabat Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam datang dengan membawa sedekah di satu waktu dari saat-saat krisis, kemudian perbuatannya ini diikuti oleh orang lain sehingga mereka berturut-turut memberikan sedekah.”

“Hadits ini tidak menunjukkan sebagaimana yang dikatakan oleh mereka (bahwasanya ada bid’ah hasanah) karena Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits tersebut tidak menyatakan:

مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً حَسَنَةً

Siapa yang mengada-adakan bid’ah hasanah,

namun beliau shalallahu ‘alaihi wassalam hanya menyatakan:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah

Sementara sunnah bukanlah bid’ah. Sunnah adalah apa yang mencocoki Al-Kitab dan As-Sunnah, mencocoki dalil, dan sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Råsulullåh shållallåhi ‘alaihi wa sallam, demikianlah yang namanya sunnah.

Maka barangsiapa yang mengamalkan satu sunnah yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah ash-shåhihah –dengan menghidupkannya atau mengajarkannya kepada manusia dan menerangkannya kepada manusia hingga mereka mengamalkan sunnah tersebut karena mencontohnya (orang yang menghidupkan sunnah tersebut-, maka ia akan mendapatkan pahala sunnah tersebut dan pahala orang-orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.

– Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini: “Dalam hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang telah mati,.). Dan (dalam hadits ini juga) terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan kejelekan.”

– Imam An-Nawawi juga menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/ kebaikan bagi lainnya.

Beliau menafsirkan, “Dan barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444).

Maka kecelakaan besarlah, bagi para pelaku bid’ah, jika ternyata banyak yang mengikuti kebid’ahannya itu, karena ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya (tanpa mengurangi dosa para peniru kebid’ahan tersebut), baik semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. Bukannya hadits ini menjadi dalil pembenar para pengekor hawa nafsu malah inilah yang bisa menjadi bumerang bagi mereka sendiri.

– Bahwa makna “barangsiapa” dalam hadits tersebut adalah “barangsiapa” yang memberi contoh aplikatif bukan inovatif. Maka yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah mengamalkan sesuatu yang telah ada dalam sunnah nabawiyah (bukan yang diada-adakan).

Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur Al-I’tisham (1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam di atas tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti) keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada’ah (yang diada-adakan/ bid’ah).

– Yang menyatakan ,”Barang siapa yang memberi sunnah/contoh yang baik dalam Islam” adalah yang menyatakan,” Setiap bid’ah adalah sesat.” Dan mustahil beliau shållallåhu ‘alaihi wa sallam mengatakan sesuatau yang mendustakan pernyataannya sendiri, sedangkan kedua hadits tersebut adalah shåhih, sehingga informasi Islam ini berbenturan.(Al-Ibda’ Ibnu Utsaimin hal:19)

2. Pemahaman mereka mengenai perkataan ‘umar,

نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)

Bantahan

– Disebut bid’ah hasanah disini adalah bid’ah secara bahasa-nya, dan bukanlah dimaksudkan sebagai bid’ah secara syar’i.

Bahkan ini telah dijelaskan oleh ulama lain, seperti Al Alamah Ibnu Hajar al haitami didalam fatwanya yang menyatakan :

“….sedangkan ucapan ‘Umar berkenaan dengan tarawih : Sebaik-baik bid’ah,…” yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa. Yaitu sesuatu yang diperbuat tanpa contoh sebelumnya : sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Katakanlah Aku bukanlah rasul yang pertama diantara rasul-rasul ….”(al Ahqaf :9)

Dikuatkan juga dengan perkataan Al-Imam Ibnu Råjab:

“Sementara yang berkaitan dengan ucapan sebagian ulama salaf yang mengkategorikan beberapa perbuatan sebagai bid’ah hasanah adalah ditinjau dari pemakaian istilah bid’ah itu secara etimologi , bukan TERMINOLOGI syar’I . Termasuk ucapan Umar Radhiallahu ‘anhu :”Sebaik-baik bid’ah adalah perbuatan ini!!” Maksudnya adalah perbuatan tersebut tidak dilakukan pada saat itu. Namun terdapat dalil yang menjadi dasar perbuatan itu.”

(silahkeun lih. Jami’ul ulum wal Hikam hadits no.28)

Terbukti, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ’sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i.

Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa.

Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An-Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)

– Kalaupun memang perkataan Umar diatas yang dimaksudkan adlaah bid’ah syar’i, maka hal tersebut harus disanggah. Karen perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)

Ingatlah pula dengan perkataan Imam Asy-Syafi’i, dalam kitabnya, Hilyatul Awliya’ pada halaman 107, yang artinya:

“Apabila engkau dapati ajaran dari Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam, maka ikutilah ajaran itu dan jangan kalian menoleh kepada pendapat seorangpun”

– Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an dan As Sunnah Ash-Shåhihah sesuai pemahaman shåhabat atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.

Misalnya mengenai acara selamatan kematian (tahlilan). Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.

Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ’setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.

Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?

Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.

4. Pemahaman mereka terhadap atsar, ”Apapun yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu baik menurut Allah .”(Musnad Ahmad 1/39).

Bantahan:

– Periwayatan atsar tersebut hanya sampai pada Abdullah Ibnu Mas’ud dan tidak sampai pada Rasulullah . Ibnul Qoyyim berkata,” Atsar ini bukan perkataan Rasulullah dan tak seorangpun menisbatkannya kepada beliau kecuali ia tidak mengerti tentang hadits. Ini hanyalah dari Ibnu Mas’ud.”(Al- Furuusiyyah, Ibnul Qoyyim hal:167). Komentar Az-Zaila’iy:” Gharib secara marfu’ dan tidak aku dapatkan kecuali terhenti pada Ibnu Mas’ud.”(Nashburrayah 4/133).

– Fungsi alif lam dalam kata “almuslimun”(pada atsar di atas) adalah untuk menyatakan sesuatu yang telah diketahui yaitu para shahabah sebagaimana yang ditunjukkan oleh alur kalimat dalam atsar tersebut dimana dikatakan di situ,” Sesungguhnya Allah melihat hati-hati para hambaNya, maka Allah dapatkan hati Muhammad sebaik-baiknya lalu Allah pilih beliau untuk diri-Nya dan mengutusnya untuk mengemban misi-Nya, di mana hati para shahabah adalah yang terbaik lalu Allah jadikan mereka para pendukungnya. Mereka berperang demi membela agamanya, maka apapun yang dianggap baik para muslimun tersebut baik pulalah dalam pandangan Allah. Sebaliknya apapun yang dianggap buruk oleh mereka, maka buruk pulalah dalam pandangan Allah .”

– Bagaimana mungkin berdalih untuk menganggap baiknya sebuah bid’ah dengan perkataan seorang shahabah yang merupakan orang yang paling keras dalam melarang daqn mengecam bid’ah. Bukankah telah kita baca bersama beliau mengatakan:”Ikutilah dan jangan membuat bid’ah, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” Dan banyak lagi ucapan-ucapan beliau yang lain dalam hal ini.

5. Perkataan Imam Syafi’iy (semoga Allah merahmatinya),” Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela.”(Hilyatul aulia 9/113). “ Yang diadaadakan dalam agama itu ada dua macam, yang diada-adakan menyelisihi Al-Quran atau sunnah, atsar atau ijma’ maka itulah bid’ah kesesatan. Sementara yang diadakan dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan itu semua, maka itu adalah muhdash yang tidak tercela.” (Manaaqib Asy-Syafi’iy, Albaihaqy 1/469 dan Al-Baaits Abii Syaamah hal 94).

Bantahan:

– Perkataan Rasulullah merupakan hujjah atas siapapun, tidak boleh dikalahkan dengan perkataan siapapun. Tidak berlaku sebaliknya.

– Bila kita cermati perkataan beliau, tidak ragu lagi bahwa yang beliau maksudkan dengan bid’ah terpuji adalah bid’ah secara bahasa, sebab semua bid’ah dalam syari’ah yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, sedangkan beliau mendefinisikan bid’ah terpuji dengan batasan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan al-Kitab dan As-Sunnah dan setiap bid’ah dalam syaria’h pasti menyelisihi firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3.

– Beliau(Imam Syafi’iy) terkenal dengan antusiasmenya yang tinggi dalam mengikuti jejak Rasulullah serta sangat murka terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah . Beliau berkata,” Jika telah kau dapatkan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah , maka ambillah sunnah itu dan tinggalkan fatwaku.”(Siyar 10/43).

6. Pernyataan Al ‘Izz Ibnu Abdissalam:” Bahwa bid’ah terbagi kedalam kategori wajib, haram, sunnah dan mubah. Dan cara mengetahuinya adalah dengan menimbang bid’ah tersebut di atas kaidah-kaidah syar’iyyah. Jika masuk dalam kaidah yang menghasilkan hukum wajib, maka keberadaan bid’ah tersebut menjadi wajib begitupula jika haram.”(Qowa’idul Ahkam 2/173).

Bantahan:

– Tidak boleh membantah hadits Rasulullah dengan perkataan siapapun, seperti pada kasus ‘umar dan imam syafi’i diatas

– Hal ini juga dibantah oleh Imam Asy-Syathibi berkata:” Pembagian ini adalah rekayasa tak berdalilkan syar’iy dan kontradiktif dengan sendirinya. Karena hakekat bid’ah adalah kehampaannya dari dalil syar’iy baik secara nash maupun kaidah-kaidah yang terintisarikan daripadanya karena seandainya ada dalil syar’iy atas pembagian itu niscaya tidak ada istilah bid’ah dan berarti pula merupakan usaha korelasi antara dua hal yang selalu kontradiktif (Jam’un baina mutanafiyaini).”(Al- I’tishom 1/246).

– Bahwa yang dimaksud beliau diatas adalah bid’ah secara bahasa, bukan syar’iy berdasarkan contoh-contoh yang beliau berikan dalam hal itu.

– Al’Izz adalah sosok ulama yang terkenal dengan sikap penyerangan serta pelarangannya yang keras terhadap bid’ah. Bahkan beliau sendiri yang melarang orang melakukan hal-hal yang mereka namakan dengan bid’ah hasanah.

Kesimpulan

Maka, pengelompokkan Bid’ah di atas, tidak mungkin dan tidak boleh kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy menetapkan dan membenarkan amalan-amalan bid’ah (makna syar’iyyah) sebagai bid’ah hasanah (satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu beliau). Karena dengan mengklasifikasikan seperti ini, maka bid’ah hasanah pada hakekatnya akan kembali kepada sikap istihsan (menganggap baik sesuatu) tanpa dilandasi dalil, yang mana ditentang oleh beliau rahimahullah sendiri.

Sebagaimana dalam beliau,

مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (dalam agama, menurut pendapat/akalnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at (baru)”

[Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].

Asy-Syaukani menukil perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Imam Asy-Syafi’iy di atas :

معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع

“Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy (yang telah ditetapkan Allåh dan Råsul-Nya)” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].

Dalam kesempatan lain, Imam Syafi’i berkata, dalam Ar-Risalah :

إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ

“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].

Cobalah kita tanyakan kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar Anda dalam menentukan baik-tidaknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya.

Akhirnya, jika kita rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah.

Maka marilah kita tutup dengan perkataan Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) :

فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دلَّ عليهِ كتابُ اللهِ المنزَّلُ، وما صحَّ عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك قد آمَنَ واتَّبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإنَّ (مَن استحسن فقد شَرَعَ).

“Maka wajib atas seorang ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at (baru)” [Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal. 50]

Maraji’:

– Al-Ustadz Abul Jauzaa, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah dan Bid’ah Hasanah, http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/al-imam-asy-syafiiy-rahimahullah-dan.html

– Al-Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, Mengenal Seluk Beluk BID’AH (2): Adakah BID’AH HASANAH?, http://muslim.or.id/manhaj-salaf/mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html

– Makalah Ust Syaikh Mudrik Ilyas dalam acara Daurah Dirosah Islamiyah pada tanggal 15, 16, 17 Maret 2002 di Masjid Abu Bakar shiddiq oleh Lajnah dakwah Yayasan Qolbun Salim Malang.”

*Dengan beberapa perubahan dan penambahan

20 Komentar

Filed under Al-Bid'ah

20 responses to “Salah kaprah dalam memahami “Bid’ah hasanah”

  1. lee

    kok ada sunnah hasanah???? aneh

    • @lee

      “sunnah” yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah sunnah secara bahasa akhiy. yang dalam hal ini bermakna “barangsiapa yang menunjukkan kepada JALAN kebaikan (sunnah hasanah) dst…”

  2. Abu Dzaky

    Wah…kalau gitu banyak orang Muslim yang masuk neraka dung yaahh ??. Trus pas ditanya Malaikat Malik kenapa kamu masuk neraka.. Mereka jawab : Iya kita masuk neraka karena Yasinan malam Jumat, Tahlilan, Maulid Nabi, Jabatan tangan habis sholat, doa/ dzikir berjamaah.,,,Wah kasian sekali mereka yaa,,,hehehehe

    • Abu Dzakiy:

      Antum berbicara demikian dalil-nya mana? jangan berbicara masalah ghayb tanpa dasar ilmu.

      Sesungguhnya maksiat itu adlaah kesesatan. apakah lantas pelaku maksiat KITA PASTIKAN MASUK NERAKA? tidak! demikian pula bid’ah, bid’ah adalah kesesatan. namun apakah kita pastikan setiap pelakunya masuk neraka? TIDAK. bisa jadi ia memiliki keutamaan-keutamaan lain, sehingga keutamaannya lebih banyak daripada dosanya. dan bisa jadi pula bid’ah yang ia lakukan hanya karena kebodohan, atau ia telah bertaubat sebelum matinya, sehingga ia tidak diadzab karena bid’ah tersebut. bahkan jika seseorang mati diatas suatu bid’ah, kita tidak bisa memastikan neraka baginya, jika Allah berkehendak mengampuninya, maka ia akan diampuni; jika Allah berkehendak mengadzabnya maka ia pun akan diadzab.

      Sesungguhnya kita hanya mengatakan HUKUM UMUM tentang bid’ah yaitu “SETIAP BID’AH ADALAH KESESATAN” (sebagaimana disabdakan Nabi) dan HUKUM UMUM bahwa “SETIAP KESESATAN TEMPATNYA DINERAKA” (sebagaimana juga disabdakan nabi). akan tetapi hal ini TIDAK MEMASTIKAN bahwa SETIAP PELAKUNYA PASTI MASUK NERAKA. karena jika seseorang mati diatas TAUHID, akan tetapi ia mati diatas dosa (baik diatas dosa besar apalagi hanya dosa kecil), maka semua kita kembalikan kepada kehendak Allah; apakah Allah menghendaki untuk mengadzabnya, ataukah untuk mengampuniNya. semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita, dan menjauhkan kita dari kebodohan, kesesatan, mengikuti hawa nafsu serta kesombongan. aamiin

  3. qhisos

    Ijin Share Akh… Jazakallahu…

  4. rana nur

    iji share…

  5. Luthfi

    Kalau dari pemahaman saya yang terbatas, bid’ah adalah amalan yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah. Artinya tindakannya sendiri tidak buruk, hanya tidak ada dalil yang memerintah demikian.
    Kenapa dilarang? Karena amalan tersebut dikhawatirkan akan diikuti oleh orang banyak yang ujungnya bisa dianggap “wajib” setelah bertahun-tahun dilakukan. Seperti contohnya salaman setelah solat. Salah-salah ada orang yang menganggap wajib hukumnya salam setelah solat. Memang tidak buruk secara perbuatan. Tapi dalam Islam bahkan ibadah sunnah pun tidak diperbolehkan dianggap wajib, apalagi amalan yang tidak jelas asal usulnya.

    Kalau ada yang berargumen,”tapi kan yang saya lakukan bukan suatu keburukan.”. Menurut saya, kalau ada kecenderungan hal tersebut dianggap wajib berarti kan buruk, jangan lakukan.

    Wallahualam.

    • Bukan demikian akhi..

      Sesungguhnya Bid’ah itu ada dua;

      1. Bid’ah Haqiqiyah

      Suatu macam bid’ah yang tidak ditunjukkan sedikitpun suatu dalil syar’i dari segala sisi, baik secara ijmal (global), apalagi secara tafshil (terperinci).

      Contoh: Misalkan seseorang berdiri ditengah panas matahari disiang bolong, dalam rangka beribadah kepada Allah. Maka ini bid’ah hakikiyyah, yaitu bid’ah yang tiada dalil baik global maupun terperincinya.

      Seperti disebutkan dalam hadits:

      Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallâhu anhu, bahwa suatu saat, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sedang berceramah, lantas ditemuinya, ada seseorang yang berdiri di terik matahari, tidak mau berteduh. Lalu beliau menanyakan perihal orang tersebut. Salah seorang sahabat menjawab, “Dia Abu Israil, bernadzar melakukan puasa, sambil berdiri di terik matahari, tidak duduk, tidak berteduh, dan tidak berbicara”. Kemudian Rasul bersabda, “Perintahkan dia, hendaklah dia duduk, berteduh, berbicara dan sempurnakan puasanya”. (HR. Bukhari).

      2. Bid’ah idhafiyyah

      Bid’ah Idhafiyyah adalah suatu bid’ah yang pada hakekatnya didasarkan pada dalil Al Qur’an atau As Sunnah, tetapi tata cara PEMAHAMAN terhadap dalil tersebut DIPAHAMI KELIRU, sehingga menghasilkan KEYAKINAN YANG SESAT dan AMALAN YANG SESAT. Dan disinilah kebanyakan kaum muslimiin telah jatuh kedalam bid’ah tersebut, karena mereka merasa “memiliki dalil” padahal Allah dan RasulNya tidak menghendaki demikian. Oleh karenanya WAJIB bagi kita untuk mengembalikan PEMAHAMAN DALIL kepada RASUULULLAAH shallallaahu ‘alayhi wa sallam dan PARA SHAHABATNYA.

      Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallaam bersabda:

      مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ

      Tidak ada seorang nabipun sebelumku yang diutus oleh Allah kepada satu umat, kecuali pada umatnya itu ada pendukung-pendukung dan SHAHABAT-SHAHABAT yang MENGAMBIL SUNNAHnya dan mengikuti PERINTAHNYA

      ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ

      Kemudian datang setelah mereka orang-orang yang mengatakan apa yang mereka tidak lakukan dan MELAKUKAN apa yang TIDAK DIPERINTAHKAN.

      فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ

      Siapa yang MEN-JIHADI mereka dengan tangannya, dialah Mu’min.

      وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ

      Siapa yang men-JIHADI mereka dengan lidahnya, dialah Mu’min.

      وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ

      Dan siapa yang men-JIHADI mereka dengan hatinya, dialah Mu’min.

      وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

      Tidak ada iman setelah itu walau sebesar biji sawi pun.”

      [HR. Muslim]

      Diriwayatkan dari Ibrahim At-Taimi, ia berkata :

      ‘Umar bin Khaththab mengirim utusan untuk menemui Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu.

      ‘Umar mengatakan : “Bagaimana umat ini bisa berselisih paham sedangkan Kitab mereka adalah satu, Nabi mereka satu dan Kiblat mereka juga satu”.

      Maka Ibnu Abbas berkata : “Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya telah diturunkan kepada kita Al-Qur’an, kita membacanya dan telah MENGETAHUI tentang apa yang diturunkan itu…

      dan sesungguhnya akan datang setelah kita kaum-kaum yang juga membaca Al-Qur’an akan tetapi mereka TIDAK TAHU tentang apa yang diturunkan dalam Al-Qur’an itu…

      maka dengan demikian tiap-tiap kaum itu mempunyai PEMAHAMAN TERSENDIRI.. jika setiap kaum memiliki pendapat, maka mereka beselisih, jika mereka berselisih maka mereka akan saling membunuh”.

      (Diriwayatkan oleh Ibnu Said bin Manshur dalam Sunan-nya. lihat: Miftahul Jannah fii Al-Ihtijaj bi As-Sunnah karya Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi]

      (simak: http://abuzuhriy.com/dengan-apakah-engkau-hendak-memahami-al-quran-dan-as-sunnah/)

      Dari Sa’id bin al-Musayyib, bahwa ia melihat seseorang sholat fajar lebih dari dua roka’at, ia memperbanyak pada sholat dua roka’at itu rukuk dan sujud, maka ia (Sa’id) melarangnya. Maka orang itu berkata : “Wahai Aba Muhammad, apakah Allåh akan mengadzabku karena sholat?” Ia menjawab :

      لَا وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ اللَّهُ بِخِلَافِ السُّنَّةِ

      “Tidak, akan tetapi Allah akan mengadzabmu karena engkau menyelisihi sunnah.”

      [HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 2/466 juga diriwayatkan al-Khotib dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (1/147)]

      Pemaparan Sa’id ini menyiratkan pelajaran sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Nashiruddin Al Albani,

      “Ini adalah jawaban Sa’id bin Musayyib yang sangat indah. Dan merupakan senjata pamungkas terhadap para ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir dan shalat, kemudian membantah Ahlusunnah dengan pernyataan bahwasanya para Ahlusunnah mengingkari dzikir dan shalat! Padahal sebenarnya yang mereka (Ahlusunnah) ingkari adalah penyelewengan ahlul bid’ah dari tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam dzikir, shalat, dan lain-lain.”

      (Irwa’ul Gholil 2/236)

      Oleh karena itu, barangsiapa YANG MENGANGGAP BAIK suatu perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan perbuatan tersebut TIDAK DILAKUKAN RASUULULAAH shallallaahu ‘alayhi wa sallam, sedangkan BELIAU MAMPU (melakukannya) dan TIDAK ADA HALANGAN bagi beliau untuk melakukannya… maka ini adalah BID’AH yang dilarang dalam agama.

      Apa sebabnya? Karena, Orang ini MERASA AGAMA YANG DIBAWA RASUULULLAAH BELUM SEMPURNA, sedangkan Allah berfirman:

      اليوم أكملت لكم دينكم

      Pada hari ini aku telah sempurnakan bagimu agamaMu..

      Maka dengan ini, ia HENDAK MENAMBAH CATATAN KAKI, dalam ayat tersebut, “oh belum, masih ada yang ketinggalan…” Maka dari SISI ini saja, maka bid’ah itu SUDAH KEMUGNKARAN yang sangat BESAR. Oleh karenanya berkata IMAM MAALIK:

      من ابتدع في الاسلام بدعه يراها حسنه فقد زعم ان محمدا ( صلى الله عليه وسلم ) خان الرسالة لان الله يقول ( اليوم أكملت لكم دينكم ) فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا .

      Barangsiapa yang mengada-adakan (segala sesuatu apapun) bid’ah DALAM ISLAAM, kemudian dia MENGANGGAPnya HASANAH; maka sesungguhnya dia telah MENUDUH Muhammad shallallaahu ‘alayhi wa sallam TELAH MENGKHIANATI RISALAH, karena Allah telah berfirman: “…Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu…” maka apa-apa yang pada saat itu BUKAN AGAMA, maka pada hari ini juga BUKAN bagian dari AGAMA.

      (I’tisham asy Syaathibiy, I/49)

      Dan memang benar, karena Allah pun telah berfirman:

      يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ

      Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya

      (al Maa-idah: 67)

      Oleh karenanya, RASUULULAAH SANGAT MEMBENCI seseorang yang hendak beramal TIDAK SESUAI dengan apa yang dituntunkannya.

      Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

      أبالله تعلموني أيها الناس ؟ قد علمتم أني أتقاكم لله وأصدقكم وأبركم افعلوا ما آمركم

      Demi Allah! bukankah kalian mengenalku wahai manusia!? Kalian telah mengetahui bahwa aku paling bertaqwa kepada Allaah diantara kalian, paling jujur dan paling baik… maka kerjakanlah apa yang aku perintahkan kepada kalian!

      (HR. Bukhariy dan Muslim; dinukil dari Hajjatun Nabiy karya Syaikh al Albaaniy rahimahullaah)

      Juga dalam hadits yang lain…

      ada beberapa sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berkata; saya tidak akan menikah, sebagian lagi berkata; saya akan selalu shalat dan tidak tidur, sebagian…… lagi berkata; saya akan terus berpuasa dan tidak berbuka.

      Berita ini sampai kepada Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, hingga (Beliau Shallallahu’alaihi wasallam) bersabda:

      ‎مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

      “Bagaimanakah keadaan suatu kaum yang mengatakan demikain dan demikain, Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, dan aku juga menikahi perempuan, dan barangsiapa yang membenci sunnahku maka ia tidak termasuk golonganku “.

      Dalam riwayat lain, dari ‘Aa-isyah radhiyallahu ‘anhaa, ia berkata;

      “Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam memerintahkan mereka dengan apa yang mereka mampui.”

      Sehingga mereka mengatakan;

      “Sesungguhnya kami tidak seperti engkau. Sebab Allah AzzaWaJalla telah mengampuni dosa-dosa engkau yang telah lalu dan yang akan datang.”

      Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam marah hingga terlihat dari raut wajahnya. Dia berkata; Kemudian beliau bersabda:

      ‎وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُكُمْ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ قَلْبًا

      “Demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang yang paling tahu terhadap Allah dan paling bertakwa di antara kalian.”

      [HR. Al-Bukhari (no. 5063) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1401) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3217) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 13122)]

      Juga dalam hadits lain, dari ‘Aa-isyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang menemui Utsman bin Mazh’un, lalu Utsman datang kepada beliau, maka beliau bersabda:

      ‎يَا عُثْمَانُ أَرَغِبْتَ عَنْ سُنَّتِي

      “wahai ‘utsman; Apakah kamu membenci sunnahku?”

      Utsman menjawab; “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah… bahkan sunnahmu lah yang amat kami cari.”

      Beliau bersabda:

      ‎فَإِنِّي أَنَامُ وَأُصَلِّي وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَنْكِحُ النِّسَاءَ فَاتَّقِ اللَّهَ يَا عُثْمَانُ فَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَصَلِّ وَنَمْ

      “Sesungguhnya aku tidur, aku juga shalat, aku berpuasa dan juga berbuka, aku juga menikahi wanita. Bertakwalah kepada Allah wahai Utsman, sesungguhnya keluargamu mempunyai hak atas dirimu, dan tamumu mempunyai hak atas dirimu, dan kamu pun memiliki hak atas dirimu sendiri, oleh karena itu berpuasa dan berbukalah, kerjakanlah shalat dan tidurlah.”

      (Shahiih; HR. Abu Dawud, dishahiihkan oleh al-Imam al-Haytsamiy dalam majma’ al zawaa-idl, juga dishahiihkan oleh syaikh al-Albaaniy dalam shahiih abi dawud)

      Maka barangsiapa YANG TIDAK MENCUKUPKAN DIRI dengan TUNTUNAN RASUULULLAAH, maka sama saja dia MEMBENCI SUNNAH. Sebagaimana yang beliau katakan diatas. Karena barangsiapa yang MENCINTAI SUNNAH, maka ia akan MENCUKUPKAN DIRI dengan SUNNAH.

      Simak: http://abuzuhriy.com/cukupkan-dirimu-dengan-sunnah/

      Semoga bermanfaat

      • Abu Jundi

        MasyaaAlloh, TabaarokAllohu Ustadz. Ilmu lagi, JazakAllohu Khoiron wa BaarokAllohu fiik.

  6. umar Fahmi Alfaruq

    Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

    Ustadz Abu Zuhriy, dalam artikel ini ustadz menyampaikan bantahan sebuah hadits yang sering digunakan kelompok yang dianggap sebagai ‘ahli bid’ah’, yaitu “Barang siapa yang memberi contoh yang baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelah itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa memberi contoh yang buruk dalam Islam maka dia akan mendapatkan beban dosanya serta dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi beban mereka sedikitpun.” (HR. Muslim no: 1017)
    Ustadz membantah dengan jawaban bahwa
    – Yang dimaksud dengan مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً adalah
    “Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah (yang sudah ada, dan telah dicontohkan Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam). Bahkan, asbabul wurud dari hadits diatas yaitu ketika salah seorang shahabat Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam datang dengan membawa sedekah di satu waktu dari saat-saat krisis, kemudian perbuatannya ini diikuti oleh orang lain sehingga mereka berturut-turut memberikan sedekah.”
    PERTANYAAN SAYA ADALAH
    Cara mengartikan dan menerjemahkan maksud sebuah hadits sebagaimana kalimat bantahan ustadz itu darimana sumbernya dan seberapa yakin bahwa maksud dari hadist itu persis seperti yang ustadz tuliskan. Mohon penjelasannnya.
    Pada artikel lain untuk pembahasan yang sama ustadz pernah menyampaikan sebuah pertanyaan, yaitu “baiklah, engkau menukil perkataan imam syafi’i… Lantas bisakah engkau membuktikan bahwa imam syafi’i beramal sebagaimana amalanmu itu?!!!”
    Menurut pendapat saya pertanyaan semacam ini tidak perlu disampaikan, sebab bagi saya secara pribadi memiliki pemahaman bahwa, “tidak dilakukannya sesuatu oleh seseoarang tidak menunjukkan adanya penolakan, ketidaksetujuan atau juga kebencian.”
    Wallahu’alam
    Terimakasih.

    • Abu Zuhriy al Gharantaliy

      Pertama-tama, ANA BUKAN USTADZ. Silahkan simak (http://abuzuhriy.com/jangan-sembarangan-memanggil-seseorang-dengan-gelar-ustadz/), simak juga (https://abuzuhriy.wordpress.com/2013/08/24/perumpamaan-dokter-dan-apoteker/)

      Kemudian, anda berkata:

      “Cara mengartikan dan menerjemahkan maksud sebuah hadits sebagaimana kalimat bantahan ustadz itu darimana sumbernya dan seberapa yakin bahwa maksud dari hadist itu persis seperti yang ustadz tuliskan. Mohon penjelasannnya.”

      Maka ana jawab:

      Hadits tersebut diartikan dan diterjemahkan, dengan mengikuti dalil-dalil lain…

      Allaah telah berfirman:

      الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

      Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.

      (al Maa-idah: 3)

      Maka PADA HARI ITU, agama sudah ALLAAH SEMPURNAKAN. Maka berarti, SELURUH KEBAIKAN telah dijelaskan kepada kita.

      Rasuulullaah bersabda:

      مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقّرِبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُتَاعِدُ عَنِ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

      “TIDAKLAH ADA sesuatu yang mendekatkan diri kepada surga dan menjauhkan dari neraka KECUALI TELAH DIJELASKAN kepada kalian.”

      (HR. Thabraaniy)

      Bahkan IMAM MAALIK berkata tentang al Maa-idah diatas:

      من ابتدع في الاسلام بدعه يراها حسنه فقد زعم ان محمدا ( صلى الله عليه وسلم ) خان الرسالة لان الله يقول ( اليوم أكملت لكم دينكم ) فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا .

      Barangsiapa yang mengada-adakan (segala sesuatu apapun) bid’ah DALAM ISLAAM, kemudian dia MENGANGGAPnya HASANAH (kebaikan); maka sesungguhnya dia telah MENUDUH Muhammad shallallaahu ‘alayhi wa sallam TELAH MENGKHIANATI RISALAH, karena Allah telah berfirman: “…Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu…” maka apa-apa yang pada saat itu BUKAN AGAMA, maka pada hari ini juga BUKAN bagian dari AGAMA.

      Maka hendaknya kita TAKUT KEPADA ALLAAH, dari ‘menganggap baik’ sesuatu TANPA BERLANDASKAN ILMU.

      Bahkan ‘menganggap baik’ ini SUDAH DILARANG dan DICELA oleh IMAM ASY SYAAFI’IY sendiri:

      إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ

      “Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu”

      [Ar-Risalah, hal. 507]

      Bahkan beliau berkata:

      مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

      “Barangsiapa yang MENGANGGAP BAIK sesuatu (tanpa berlandaskan tuntunan Rasuulullaah dan para shahabatnya), maka ia TELAH MEMBUAT SYARI’AT”

      [Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].

      Benar kata beliau!

      Bagaimana kita hendak MENGANGGAP BAIK sesuatu TANPA ILMU?! Lantas atas dasar apa anggapan baik tersebut? Tentulah hanyalah berdasarkan DUGAAN, LOGIKA, PERASAAN; yang ini semua TANPA DASAR ILMU! (barulah kemudian ‘cari-cari dalil’ untuk MEMBENARKAN anggapan baik tersebut!)

      Sungguh ini KETERBALIKAN! Yang benar adalah MENUNTUT ILMU SYAR’I (dengan berdasarkan hadits-hadits shahiih, dan mengikuti pemahaman Rasuulullaah dan para shahabatnya). Maka apa yang DIANGGAP BAIK syari’at, itulah KEBAIKAN. Dan apa yagn DIANGGAP BURUK syari’at, itulah KEBURUKAN. Adapun anggapan baik, tanpa landasan syari’at, maka ini sama saja hendak membuat syari’at baru!!!

      Oleh karenanya kita hanya diperintahkan untuk MENGIKUTI jalan Rasuulullaah dan para shahabatnya. BUKAN MEMBUAT-BUAT JALAN BARU!

      Berkata ibnu Mas’uud:

      اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

      “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah (mengada-ada). Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.”

      Berkata pula ibnu ‘Umar:

      كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

      “Setiap bid’ah adalah sesat, WALAUPUN MANUSIA MENGANGGAPNYA BAIK.”

      Sungguh, kalau “anggapan baik” itu adalah UKURAN KEBENARAN. Tentulah fir’aun pun dibenarkan!!! Mengapa demikian? Karena fir’aun pun MENGANGGAP BAIK perbuatannya!!

      Allaah berfirman:

      قَالَ فِرْعَوْنُ مَا أُرِيكُمْ إِلَّا مَا أَرَىٰ وَمَا أَهْدِيكُمْ إِلَّا سَبِيلَ الرَّشَادِ

      Fir’aun berkata: “Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar”.

      (Ghaafir : 29)

      Maka jelas, ANGGAPAN BAIK BUKANLAH DALIL! Yang menjadi dalil, adalah petunjuk, tuntunan, pemahaman serta pengamalan Rasuulullaah dan para shahabatnya!

      Ketahuilah dahulu ibnu Mas’uud pernah mengingakari orang yang dzikir berjamaa’ah dengan berkata :

      وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ

      Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman tangannya, sesungguhnya kalian ini (dengan perbuatan kalian ini) MENGAGGAP MEMILIKI AGAMA YANG LEBIH BAIK dari agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam?! ataukah kalian sengaja hendak membuka pintu kesesatan?!

      وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ

      ‘Demi Allah wahai Abu Abdur rahman kami tidak menginginkan kecuali kebaikan’ (lihatlah mereka, mereka pun berdalil dengan ‘anggapan baik’!!!)

      Akan tetapi ibnu Mas’uud menjawab:

      وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

      ‘Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi ia tidak dapat mencapainya!!?’

      إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ

      Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami bahwa “ada satu kaum yang membaca Al Qur`an namun tidak melampaui tenggorokan mereka!” Demi Allah, aku tidak tahu, mungkin saja mayoritas mereka adalah dari kalian!!!”

      [Shahiih diriwayatkan ad Daarimiy]

      Maka hendaknya kita MENGIKUTI SUNNAH, dan MERASA CUKUP DENGANNYA. Bukannya membuat-buat amalan baru, yang tidak ada tuntunan syari’atnya. (simak: http://abuzuhriy.com/cukupkan-dirimu-dengan-sunnah/)

      Semoga bermanfa’at!

  7. Umar Fahmi Alfaruq

    Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

    Baik mohon diijinkan untuk selanjutnya saya akan memanggil dengan sebutan Bapak Abu Zuhriy. Terimakasih atas jawaban yang sudah disampaikan.

    Ijinkan saya menyampaikan apa yang menjadi pemahaman saya tentang Surat Al-Maidah Ayat ke-3 sebagaimana yang Bapak Abu Zuhriy sampaikan. Saya berharap agar Bapak Abu Zuhriy bersedia meluruskan pemahaman saya apabila terdapat kesalahan dalam memahami ayat sebagaimana yang Bapak Abu Zuhriy sampaikan.

    QS.Al-Maidah : 3
    Terjemahan :
    “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. PADA HARI INI TELAH KU-SEMPURNAKAN UNTUK KAMU AGAMAMU, DAN TELAH KU-CUKUPKAN KEPADAMU NIKMAT-KU, DAN TELAH KU-RIDHOI ISLAM ITU JADI AGAMA BAGIMU. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

    Berikut adalah pemahaman saya
    Ayat Allah SWT yang saya tuliskan menggunakan huruf kapital tersebut adalah sebuah pernyataan Allah SWT untuk kesempurnaan Islam dan sekaligus meridhoi Islam sebagai satu-satunya agama yang haq.

    Dalam pemahaman saya pernyataan kesempurnaan dan ridho dari Allah SWT itu meliputi hal-hal yang berkaitan dengan pokok-pokok ibadah yang terangkum dalam satuan rukun Islam antara lain, Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat, dan Haji. Dengan alasan apapun tidak ada ummat Islam yang diperbolehkan merubah kelima ibadah-ibadah pokok itu, baik dari sisi hukum, tempat, waktu, jumlah dan cara pelaksanaannya.

    Pelaksanaan, tempat, waktu, jumlah dan hukum dari kelima ibadah-ibadah pokok itu telah sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang kemudian telah diikuti oleh para sahabatnya, tabi’in, tabiit tabi’in dan ulama-ulama penerusnya hingga kita pada saat ini. Kelima ibadah-ibadah pokok itu kemudian menjadi satu kewajiban sekaligus kebutuhan bagi seluruh ummat Islam diseluruh penjuru dunia.
    Jadi menurut pendapat saya, ayat sebagaimana terdapat dalam Surat Al-Maidah ayat ke-3 tidak terkait dengan Hadits Riwayat Muslim yang terjemahannya adalah :

    “Barang siapa yang memberi contoh yang baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelah itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa memberi contoh yang buruk dalam Islam maka dia akan mendapatkan beban dosanya serta dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi beban mereka sedikitpun.”

    Sebab “memberi contoh yang baik dalam Islam” sebagaimana terdapat dalam hadits itu bersifat umum, karena tidak disebutkan secara spesifik siapa orang yang memberi contoh, siapa orang yang diberi contoh dan seperti apa bentuk dari contoh yang baik itu. Oleh karena itu bentuk dari “contoh yang baik dalam Islam” itu bisa dikatakan merupakan “kebebasan” yang diberikan oleh Allah SWT kepada ummat Islam untuk berikhtiar atau berusaha agar bersedia dengan ikhlas untuk memberikan keteladanan sifat dan sikap serta amalan-amalan diluar ibadah-ibadah pokok yang telah ditetapkan sebagai “contoh yang baik”. Adapun bentuk dari sifat, sikap dan amalan-amalan diluar ibadah-ibadah pokok yang telah menjadi kebiasaan ummat Islam secara umum akan dikatakan sebagai “contoh yang baik” jika tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.

    Berikutnya mengenai pernyataan Bapak Abu Zuhriy yang tertulis :
    Sungguh, kalau “anggapan baik” itu adalah UKURAN KEBENARAN. Tentulah fir’aun pun dibenarkan!!! Mengapa demikian? Karena fir’aun pun MENGANGGAP BAIK perbuatannya!!

    Dengan menggunakan dalil QS. Al-Mu’minun ayat ke-29 yang terjemahannya :
    (Musa berkata): “Hai kaumku, untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu menimpa kita!” FIR’AUN BERKATA : AKU TIDAK MENGUNGKAPKAN KEPADAMU, MELAINKAN APA YANG AKU PANDANG BAIK, DAN AKU TIADA MENUNJUKKAN KEPADAMU SELAIN JALAN YANG BENAR.”

    Dalam pemahaman yang terbatas, saya beranggapan bahwa kita tidak selayaknya membuat perbandingan dua sisi yang sudah sangat jelas perbedaanya.
    Apakah layak seorang muslim yang dengan ikrar keimanannya terhadap Allah SWT dan Rasul utusan-Nya dibandingkan dengan Fir’aun yang secara nyata telah berlaku sombong, congkak dan telah mengingkari keberadaan Allah SWT?

    Menurut saya, amalan-amalan sebagai “contoh yang baik” yang telah menjadi bagian dari “kebebasan” berikhtiar sebagian ummat Islam akan tetap memperoleh apresiasi dari Allah SWT.
    “anggapan baik” sebagaimana yang diungkapkan Fir’aun jelas menunjukkan sifatnya yang sombong dan congkak serta melupakan hakikat dirinya sebagai seorang manusia biasa yang pasti akan menemui ajalnya. Adapun “anggapan baik” seorang muslim yang benar ikrar keimanannya, akan menunjukkan adanya kerendahan hatiannya terhadap Allah SWT dan adanya prasangka baik terhadap Allah SWT atas amalan-amalan yang dilakukan dan diupayakan sebagai ikhtiar diluar ibadah-ibadah pokok yang telah dijelaskan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

    Artinya :
    Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, “Aku menurut dugaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya apabila ia ingat kepadaKu.
    (Hadits ditakhrij oleh Turmidzi)

    QS. Al-Baqarah : 62
    Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
    Demikian, Wallahu’alam.

    • Abu Zuhriy al Gharantaliy

      “Barangsiapa yang mencontohkan YANG BAIK DALAM ISLAAM”

      Coba anda simak baik-baik kalimat tersebut:

      1. “baik”

      Dan SEGALA KEBAIKAN SUDAH DIJELASKAN ISLAAM. Seperti yang anda sebutkan diatas: “tempat, waktu, jumlah dan cara pelaksanaannya.”

      Sebagaimana anda mengatakan: “tidak boleh menambah-nambah dan mengubah-ngubah tata cara pelaksanaan shalat, zakat, haji, dll”, dan kita MELARANG orang menambah-nambah atau memodifikasi haji, shalat, zakat; meksipun ia menganggap “modifikasi ini kan baik”

      Maka demikain pun kita katakan: “tidak boleh juga kita membuat-buat ibadah baru, atau memodifikasi ibadah-ibadah yang sudah ada, baik itu dzikir, atau lain-lain!” Meskipun dia menganggapnya “ini kan baik”… Ini AMAT KELIRU! karena itu “Baik menurut dia”, tapi TIDAK BAIK disisi Allaah ! karena ia telah membuat-buat syari’at yang baru, yang tidak pernah disyari’atkanNya melalui rasulNya!

      Sebagaimana akan ana bawakan kembali sabda Rasuulullaah:

      مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقّرِبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُتَاعِدُ عَنِ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

      “TIDAKLAH ADA sesuatu yang mendekatkan diri kepada surga dan menjauhkan dari neraka KECUALI TELAH DIJELASKAN kepada kalian.”

      (HR. Thabraaniy)

      Maka kita CUKUP MENGIKUTI apa yang SUDAH DIAJARKAN NABI.

      Dan jika kita BEBAS MENENTUKAN SEENAK HATI kita untuk membuat-buat suatu ibadah atau memodifikasi suatu ibadah; berkaitan dengan tempat, waktu, jumlah dan cara pelaksanaannya. MAKA RUSAKLAH AGAMA INI.

      Dengan kita menentukan sendiri “jenis, tempat, waktu, jumlah dan cara pelaksanaannya” maka berarti kita MEMBUAT AMALAN IBADAH TERSENDIRI. Seakan-akan ibadah dalam islaam TIDAK SEMPURNA. Seakan-akan APA YANG SUDAH DICONTOHKAN RASUULULLAAH TIDAK SEMPURNA.

      Inilah salah satu sisi, bahwa BID’AH itu AMAT TERLARANG DALAM ISLAAM. Karena dengan mengamalkannya, maka kita BERPALING dari KETAATAN kepada Allaah dan RasulNya.

      Seakan-akan kita TIDAK PERLU RasulNya unutk beribadah, cukup kreasikan sendiri saja. Subhaanallaah!

      Bukankah kita beribadah UNTUK ALLAAH? Jika kita beribadah UNTUK ALLAAH, maka hendaknya kita beribadah kepadaNya BERLANDASKAN TUNTUNAN RasulNya! bukan malah MEMBUAT-BUAT ibadah tersendiri!

      Sungguh yang dikatakan “beribadah kepada Allaah” apabila seseorang:

      a. Meniatkannya hanya untuk Allaah; bukan meniatkan untuk selainNya

      b. Dan seseorang melaksanakan ritual tersebut BERDASARKAN TUNTUNAN RASUL-Nya, bukan dengna kreasinya sendiri!

      Maka oleh karenanya, jika dikatakan “baik”, maka yang dimaksudkan “BAIK MENURUT AGAMA”, dan BID’AH (membuat-buat ibadah baru) adalah BURUK menurut agama!

      2. “Dalam Islaam”

      Maka jika disebutkan DALAM ISLAAM, berarti yang dimaksudkan adalah IBADAH YANG SUDAH ADA DALAM ISLAAM. Bukan ibadah-ibadah yang dibuat-buat oleh pikiran kita!

      Oleh karena itu imam maalik berkata, tentang ayat al maaidah diatas:

      من ابتدع في الاسلام بدعه يراها حسنه فقد زعم ان محمدا ( صلى الله عليه وسلم ) خان الرسالة لان الله يقول ( اليوم أكملت لكم دينكم ) فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا .

      Barangsiapa yang mengada-adakan BID’AH DALAM ISLAAM, kemudian dia MENGANGGAPnya HASANAH (kebaikan); maka sesungguhnya dia telah MENUDUH Muhammad shallallaahu ‘alayhi wa sallam TELAH MENGKHIANATI RISALAH, karena Allah telah berfirman: “…Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu…” maka apa-apa yang pada saat itu BUKAN AGAMA, maka pada hari ini juga BUKAN bagian dari AGAMA.

      Maka kita hanyalah mengikuti AGAMA yang dibawa MUHAMMAD shallallaahu ‘alayhi wa sallam! bukannya malah membuat agama baru!

      Agama apakah yang kita ikuti? Islaam kah? ataukah Logika atau rasional?

      Sungguh agama kita adalah agama islaam. Bukan agama perasaan atau agama otak.

      Syari’at itu milik Allaah, bukan milik otak dan perasaan. Maka jadikanlah agama kita, islaam. Ikutilah syari’atNya, yang telah dituntunkan RasulNya. Dan tundukkanlah akal dan logika kita, ketika berhadapan dengan syari’atNya. Bukannya kita malah mendahulukan akal dan logika kita diatas syari’atNya. Atau bahkan menjadikan akal dan logika kita sebagai syari’at kita sendiri! Na’uudzubillaah!

      Dan hendaknya TIDAK MENAFSIRKAN AYAT atau HADITS dengan penafsiran sendiri. rujuklah para ulamaa’. (simaklah artikel: http://abuzuhriy.com/dengan-apakah-engkau-hendak-memahami-al-quran-dan-as-sunnah/)

      Sungguh kita amat sangat malu, untuk berkata-kata dibidang kedokteran “menurut saya begini dok” sedangkan kita berbicara tanpa rujukan, tentang pembicaraan tersebut.

      Sungguh kita amat sangat malu, untuk berkata-kata dibidang pertanian “menurut saya begini pak insiyur” sedangkan kita berbicara tanpa rujukan, tentang pembicaraan tersebut.

      Tapi kita TIDAK MALU ketika berbicara tentang AGAMA ALLAAH. Tanpa rujukan. dengan seenaknya berkata: “menurut saya”

      Kalaulah setiap orang mengatakan “menurut saya” tanpa rujukan ilmiyyah, maka hancurlah agama ini! Sebagaimana akan hancurnya kedokteran, pertanian, dll; jika dibebaskan seseorang berkomentar tanpa rujukan, tanpa landasan ilmu. (simak: http://abuzuhriy.com/larangan-bicara-tanpa-ilmu-12/)

      Semoga bermanfaat

  8. Umar Fahmi Alfaruq

    Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
    Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih karena sudah berkenan berdiskusi dan berbagi ilmu dengan saya.
    Ada beberapa hal akan saya sampaikan, antara lain :
    1. Adalah benar saya orang yang kurang ilmu terutama untuk ilmu agama Islam. Oleh karena itu saya senantiasa mencari ilmu itu yang salah satunya dengan Bapak Abu Zuhriy.

    2. Jika yang saya sampaikan menunjukkan adanya kekurangan ilmu yang saya miliki karena tidak adanya “rujukan ilmiah”, maka saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Abu Zuhriy karena ini akan menjadi peringatan bagi saya dalam menyampaikan suatu permasalahan

    3. Apa yang saya sampaikan kepada Bapak Abu Zuhriy merupakan sebuah pertanyaan dan ada juga yang berbentuk penyataan, jadi saya sangat mengharapkan kesediaan Bapak Abu Zuhriy untuk menjawab dan atau menjelaskan pernyataan saya yang timbul akibat dari tulisan Bapak Abu Zuhriy. Berikut beberapa pertanyaan dan pernyataan saya yang masih memerlukan penjelasan serta penjabaran dari Bapak Abu Zuhriy :
    a. Apa kaitan antara QS. Al-Maidah ayat ke-3 dengan Hadits Riwayat Muslim yang artinya, “Barang siapa yang memberi contoh yang baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelah itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa memberi contoh yang buruk dalam Islam maka dia akan mendapatkan beban dosanya serta dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi beban mereka sedikitpun.”
    Pada jawaban yang Bapak Abu Zuhriy sampaikan hanya membahas tentang materi Haditsnya tanpa memberikan keterangan mengenai keterkaitan keduanya.

    b. PERNYATAAN BAPAK ABU ZUHRIY :
    “baiklah, engkau menukil perkataan imam syafi’i… Lantas bisakah engkau membuktikan bahwa imam syafi’i beramal sebagaimana amalanmu itu?!!!”
    PERNYATAAN SAYA :
    Menurut pendapat saya pertanyaan semacam ini tidak perlu disampaikan, sebab bagi saya secara pribadi memiliki pemahaman bahwa, “tidak dilakukannya sesuatu oleh seseoarang tidak menunjukkan adanya penolakan, ketidaksetujuan atau juga kebencian.”

    c. PERNYATAAN BAPAK ABU ZUHRIY :
    Sungguh, kalau “anggapan baik” itu adalah UKURAN KEBENARAN. Tentulah fir’aun pun dibenarkan!!! Mengapa demikian? Karena fir’aun pun MENGANGGAP BAIK perbuatannya!!
    Dengan dalil QS. Ghafiir ayat ke- 29
    Yang terjemahannya : (Musa berkata): “Hai kaumku, untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu menimpa kita!” FIR’AUN BERKATA : AKU TIDAK MENGUNGKAPKAN KEPADAMU, MELAINKAN APA YANG AKU PANDANG BAIK, DAN AKU TIADA MENUNJUKKAN KEPADAMU SELAIN JALAN YANG BENAR.”
    PERNYATAAN SAYA :
    Dalam pemahaman yang terbatas, saya beranggapan bahwa kita tidak selayaknya membuat perbandingan dua sisi yang sudah sangat jelas perbedaanya.
    Apakah layak seorang muslim yang dengan ikrar keimanannya terhadap Allah SWT dan Rasul utusan-Nya dibandingkan dengan Fir’aun yang secara nyata telah berlaku sombong, congkak dan telah mengingkari keberadaan Allah SWT?

    Menurut saya, amalan-amalan sebagai “contoh yang baik” yang telah menjadi bagian dari “kebebasan” berikhtiar sebagian ummat Islam akan tetap memperoleh apresiasi dari Allah SWT.
    “anggapan baik” sebagaimana yang diungkapkan Fir’aun jelas menunjukkan sifatnya yang sombong dan congkak serta melupakan hakikat dirinya sebagai seorang manusia biasa yang pasti akan menemui ajalnya. Adapun “anggapan baik” seorang muslim yang benar ikrar keimanannya, akan menunjukkan adanya kerendahan hatiannya terhadap Allah SWT dan adanya prasangka baik terhadap Allah SWT atas amalan-amalan yang dilakukan dan diupayakan sebagai ikhtiar diluar ibadah-ibadah pokok yang telah dijelaskan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

    Artinya :
    Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, “Aku menurut dugaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya apabila ia ingat kepadaKu.
    (Hadits ditakhrij oleh Turmidzi)

    QS. Al-Baqarah : 62
    Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

    4. Berkaitan dengan Surat Al-Maidah ayat ke-3, saya mengatakan bahwa ayat itu merupakan, “……sebuah pernyataan Allah SWT untuk kesempurnaan Islam dan sekaligus meridhoi Islam sebagai satu-satunya agama yang haq.
    Dalam pemahaman saya pernyataan kesempurnaan dan ridho dari Allah SWT itu meliputi hal-hal yang berkaitan dengan pokok-pokok ibadah yang terangkum dalam satuan rukun Islam antara lain, Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat, dan Haji. Dengan alasan apapun tidak ada ummat Islam yang diperbolehkan merubah kelima ibadah-ibadah pokok itu, baik dari sisi hukum, tempat, waktu, jumlah dan cara pelaksanaannya.

    DENGAN PERNYATAAN INI SAYA INGIN MENYAMPAIKAN BAHWA, KELIMA IBADAH-IBADAH POKOK ITULAH YANG TIDAK BOLEH ADA YANG MENAMBAH ATAU MENGURANGINYA.
    ADAPUN AMALAN-AMALAN LAIN DILUAR YANG LIMA ITU HANYA MERUPAKAN IHKTIAR DAN ATAU USAHA MANUSIA BELAKA YANG BUKAN MENJADI BAGIAN DARI SYARIAT ISLAM.

    5. Saya mengatakan bahwa, “……………………“contoh yang baik dalam Islam” itu bisa dikatakan merupakan “kebebasan” yang diberikan oleh Allah SWT kepada ummat Islam untuk berikhtiar atau berusaha agar bersedia dengan ikhlas untuk memberikan keteladanan sifat dan sikap serta amalan-amalan diluar ibadah-ibadah pokok yang telah ditetapkan sebagai “contoh yang baik”. Adapun bentuk dari sifat, sikap dan amalan-amalan diluar ibadah-ibadah pokok yang telah menjadi kebiasaan ummat Islam secara umum akan dikatakan sebagai “contoh yang baik” jika tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.

    DAN SAYA TIDAK MENGATAKAN SEBAGAIMANA YANG BAPAK ABU ZUHRIY TULISKAN KARENA AKAN MERUBAH MAKNA DARI APA YANG SAYA MAKSUD.
    Tulisan Bapak Abu Zuhriy yang saya maksud adalah :
    “Dan jika kita BEBAS MENENTUKAN SEENAK HATI kita suatu ibadah berkaitan dengan tempat, waktu, jumlah dan cara pelaksanaannya. MAKA RUSAKLAH AGAMA INI.”

    “Dengan kita menentukan sendiri “jenis, tempat, waktu, jumlah dan cara pelaksanaannya” maka berarti kita MEMBUAT AMALAN IBADAH TERSENDIRI. Seakan-akan ibadah dalam islaam TIDAK SEMPURNA. Seakan-akan APA YANG SUDAH DICONTOHKAN RASUULULLAAH TIDAK SEMPURNA.”

    “Inilah salah satu sisi, bahwa BID’AH itu AMAT TERLARANG DALAM ISLAAM. Karena dengan mengamalkannya, maka kita BERPALING dari KETAATAN kepada Allaah dan RasulNya.”

    6. Pada jawaban kali ini Bapak Abu Zuhriy juga menyampaikan kalimat bahwa,
    “Agama apakah yang kita ikuti? Islaam kah? ataukah Logika atau rasional?”
    “Sungguh agama kita adalah agama islaam. Bukan agama perasaan atau agama otak.”
    MAKA SAYA MENJAWAB
    Insya Allah Bapak Abu Zuhriy tahu bahwa saya beragama Islam sebagaimana agama yang Bapak yakini. Dan karena sama-sama beragama Islam tidak seharusnya bertanya demikian, kecuali kalau memang Bapak Abu Zuhriy meragukan ke-Islaman saya. Lagi pula untuk apa Bapak Abu Zuhriy bertanya dan membandingkan Islam sebagai agama dengan Logika atau rasional?
    Islam adalah agama yang kebenarannya tidak saya ragukan dan kebenaran itu telah saya buktikan atas adanya fungsi logika, perasaan dan otak yang telah sudah Allah SWT anugerahkan terhadap hampir semua manusia termasuk diri saya.

    7. Dalam jawabannya Bapak Abu Zuhriy mengatakan bahwa, “Dan hendaknya TIDAK MENAFSIRKAN AYAT atau HADITS dengan penafsiran sendiri. rujuklah para ulamaa’. (simaklah artikel: )”
    Dengan kalimat yang Bapak Abu Zuhriy sampaikan itu saya memohon ampun kepada Allah jikalau memang benar saya telah semena-mena, sembarangan, sembrono dan tanpa ilmu dalam menafsirkan ayat-ayat Allah SWT. Oleh karena itu mohon kesediaan Bapak Abu Zuhriy untuk menunjukkan kepada saya kalimat manakah yang sekiranya dianggap sebagai hasil “PENAFSIRAN SENDIRI” dan tidak ada rujukan dari para ulama.
    Jika saja benar saya telah melakukan sebagaimana yang Bapak Abu Zuhriy maksud, maka sekali lagi saya memohon ampun kepada Allah SWT, memohon maaf kepada seluruh guru-guru saya, dan sahabat-sahabat saya. Dan kepada Bapak Abu Zuhriy saya menyampaikan terimakasih karena telah mengingatkan saya dari cara-cara yang batil

    8. Bapak Abu Zuhriy yang saya hormati, Bapak mengatakan, “Tapi kita TIDAK MALU ketika berbicara tentang AGAMA ALLAAH. Tanpa rujukan. dengan seenaknya berkata: “menurut saya”
    PERTANYAAN SAYA
    Apa maksud kata “seenaknya” dari kalimat “…..dengan seenaknya berkata: “menurut saya”
    Siapakah yang Bapak anggap “seenaknya” itu?
    Yang manakah yang dianggap “seenaknya?”
    Dalam pandangan siapakah itu dianggap “seenaknya?”
    Sebab dengan Bapak menuduh dengan kata “seenaknya”, maka Bapak sendiri telah berbuat “seenaknya” menuduh orang lain, tanpa pernah bertanya sebelumnya.
    Adapun kalimat “menurut saya….” Tidak menunjukkan bahwa apa yang disampaikan itu tidak ilmiah dan tidak ada dasarnya.
    Untuk agama buatan manusia bisa jadi benar akan hancur oleh karena adanya kalimat “menurut saya….” Akan tetapi itu tidak akan terjadi pada Islam yang memiliki kebenaran yang mutlak dan telah sudah dilindungi Allah SWT. Bahkan jikalau manusia ini semua musnah, Islam tetap menjadi kebenaran dengan seluruh ajarannya.

    9. Saya akan senang jika Bapak Abu Zuhriy bersedia berbagi ilmu dengan saya. Apa yang menjadi pertanyaan dan pernyataan saya semata-mata upaya pencarian saya terhadap kebenaran karena banyaknya keterbatasan dan kebodohan saya.
    Wallahu’alam.
    Terimakasih sebelumnya.

    • Abu Zuhriy al Gharantaliy

      wa ‘alaikumus salaam warahmatullaahi wabarakaatuh

      Anda bertanya:

      “Apa kaitan antara QS. Al-Maidah ayat ke-3 dengan Hadits Riwayat Muslim diatas”

      Saya jawab:

      Keterkaitannya adalah:

      1. Dalam al Maa-idah telah dijelaskan akan adanya kesempurnaan dalam agama. Sehingga agama ini tidak membutuhkan IBADAH TAMBAHAN lagi, meskipun berdalih dengan “niatnya kan baik”. Karena SELURUH kebaikan SUDAH DIJELASKAN agama.

      Maka maksud dari “contoh yang baik dalam islaam” adalah merujuk pada Islaam yang disebutkan dalam al Maa-idah ayat 3 tersebut. Bukan amalan-amalan yang baru datang setelah disempurnakan syari’at. Maulid nabi dan dzikir berjama’ah (satu suara; baik dengan pimpinan atau tidak) adalah CONTOH KEBURUKAN yang dianggap ‘kebaikan’ oleh pelakunya. Kalaulah hal itu baik, tentulah Rasuulullaah dan para shahabatnya telah mendahului kita melakukannya!

      2. Maka “contoh yang baik dalam islaam” seperti: “kita mencontohkan bersedekah”, sedekah sudah ada syari’atnya. Maka orang-orang mencontohi kita, maka inilah maksud hadits.

      Adapun jika maksudnya: “kita membuat-buat / mengkreasikan amalan baru, atau memodifikasi aamalan yang ada” dari segi jenis/tata cara/jumlah/waktu/tempat dan lain-lain; maka BUKAN ini “contoh yang baik” yang dimaksudkan dalam hadits. bahkan ini yang dimaksudkan dalam hadits “contoh yang buruk” yang jika kita mencontohkan amalan bid’ah, dan diikuti orang lain, maka bertumpuklah dosa demi dosa.

      Anda berkata:

      Pertanyaan semacam ini tidak perlu disampaikan, sebab bagi saya secara pribadi memiliki pemahaman bahwa, “tidak dilakukannya sesuatu oleh seseoarang tidak menunjukkan adanya penolakan, ketidaksetujuan atau juga kebencian.”

      Saya jawab:

      Bukan disitu letak logikanya. Letak logikanya adlaah, kalaulah ada suatu kebaikan yang “kita anggap baik” yang mampu dilakukan di zaman imam syafi’iy dan tidak ada yang menghalaginya melakukannya; namun justru kita melakukannya. Maka apakah kita merasa LEBIH MENGENAL KEBAIKAN daripada Imam asy syafi’iy?!

      Jauh sebelum imam asy syaafiy, yaitu Rasuulullaah dan para shahabat. Apakah kita MERASA LEBIH MENGENAL KEBAIKAN dibandingkan mereka?! Sehingga apa-apa yang mereka tidak kerjakan, padahal mereka mampu, dan tidak ada yang menghalangi merkea; tapi kita kita mengerjakannya! Maka apakah kita yang lebih mengenal kebaikan ataukah mereka?!

      “Dalam pemahaman yang terbatas, saya beranggapan bahwa kita tidak selayaknya membuat perbandingan dua sisi yang sudah sangat jelas perbedaanya. Apakah layak seorang muslim yang dengan ikrar keimanannya terhadap Allah SWT dan Rasul utusan-Nya dibandingkan dengan Fir’aun yang secara nyata telah berlaku sombong, congkak dan telah mengingkari keberadaan Allah SWT?”

      Bukan DARI SISI itu dilihat… Tapi dari sisi, fir’aun sendiri pun BERANGGAPAN BAIK akan perbuatan buruknya… Jika “anggapan baik” adalah DALIH untuk MEMBENARKAN perbuatan. maka tentu fir’aun harus dibenarkan, karena dia pun “beranggapan baik”. Pelajarannya: “ANGGAPAN BAIK itu BUKAN DASAR untuk DIBENARKAN suatu amalan! tapi harus ditimbang syari’at!”

      Kemudian anda berkata:

      “Menurut saya, amalan-amalan sebagai “contoh yang baik” yang telah menjadi bagian dari “kebebasan” berikhtiar sebagian ummat Islam akan tetap memperoleh apresiasi dari Allah SWT.”

      Saya berkata;

      “kebebasan BEBAS BERIKHTIAR SEPERTI APA? apakah BEBAS MEMBUAT-BUAT IBADAH BARU dalam agama?! Sungguh amat lancangnya jika demikian! Bahkan kita dibebaskan untuk beramal AMALAN YANG SUDAH DISYARI’ATKAN! Tidak perlu membuat-buat amalan baru atau memodifikasi amalan yang sudah ada!”

      Perkataan anda:

      “Adapun “anggapan baik” seorang muslim yang benar ikrar keimanannya, akan menunjukkan adanya kerendahan hatiannya terhadap Allah SWT dan adanya prasangka baik terhadap Allah SWT atas amalan-amalan yang dilakukan dan diupayakan sebagai ikhtiar diluar ibadah-ibadah pokok yang telah dijelaskan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.”

      Saya jawab:

      “Yang saya maksud “anggapan baik” adalah menganggap baik suatu perbuatan, sedangkan TANPA DIDASARI ILMU. Tanpa didasari rujukan syari’at. Semaunya saja berkata: “menurutku ini baik” Ia, baik menurutmu, tapi bagaimana menurut syari’at?! Apakah anggapanmu itu SEBELUMnya sudah didasari syari’at? ataukah engkau mengganggap baik SEBELUM menuntut ilmu?! [simak: http://abuzuhriy.com/jangan-menganggap-baikburuk-kecuali-berlandaskan-ilmu/%5D [simak juga: http://abuzuhriy.com/tanggapan-atas-ucapan-apa-salahnya-sih/%5D

      Anda berkata:

      “ADAPUN AMALAN-AMALAN LAIN DILUAR YANG LIMA ITU HANYA MERUPAKAN IHKTIAR DAN ATAU USAHA MANUSIA BELAKA YANG BUKAN MENJADI BAGIAN DARI SYARIAT ISLAM.”

      Saya berkata:

      “Amalan seperti apa? APA DASAR ANDA mengatakan demikian? Siapa rujukan anda atas perkataan anda tersebut? Mana sabda Rasuulullaah dari ucapan anda diatas? mana ucapan para shahabat? mana ucapan para ulama? [Kalau anda baru sekrang CARI-CARI DALIL. Justru disitulah letak kesalahan anda. Anda berargumen, baru anda cari-cari pembenaran. Yang benar, adalah anda tahu dalil (ilmu), tahu penjelasan ulama, dan kemudian anda berargumen dengan hal tersebut. BUKAN SEBALIKNYA. Allaahul musta’aan”

      (itu saja dulu yang saya angkat)

  9. umar fahmi alfaruq

    Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

    Bapak Abu Zuhriy, terimakasih jawaban dan penjelasannya. Semua yang Bpak sampaikan sangat bermanfaat bagi saya. Mudah-mudahan inilah silaturahim yang terbaik dalam rangka menegakkan kebenaran yang telah jelas dari Allah SWT.
    Mohon untuk senantiasa memberikan pencerahan buat saya dan sahabat-sahabat yang lain dengan cara yang baik dan benar.
    Saat ini apa yang menjadi pemahaman mungkin berbeda, akan tetapi inilah indahnya Islam, karena dengan ini kita akan selalu dipertemukan tentu dengan suasana yang damai dan penuh dengan kebahagiaan.
    Dan yang terkhir yang ingin saya sampaikan adalah bahwa saya tidak seperti dalam dugaan Bapak Abu Zuhriy yang mengatakan, ” [Kalau anda baru sekrang CARI-CARI DALIL. Justru disitulah letak kesalahan anda. Anda berargumen, baru anda cari-cari pembenaran. Yang benar, adalah anda tahu dalil (ilmu), tahu penjelasan ulama, dan kemudian anda berargumen dengan hal tersebut. BUKAN SEBALIKNYA.”
    Wassalam.

  10. ali

    Begitu serius pembahasannya, tapi saya kok menganggapnya masalah kecil ya. Apa yang Kita katakan, tulis, dan lakukan dibatasi oleh pengetahuan Kita. Andai saja kita melihat isi dan mengabaikan kulit Kita tidak akan begitu mudah menghukumi sesuatu sebagai bid’ah. Tahlilan sekedar nama/kulit sedang isinya Kita berdzikir dan berdo’a bersama. Pelajari QS. al-Anfal ayat 9 dan al-Hasyr ayat 10. jangan katakan Peringatan Mawlid tidak berdasar justru yang pertama kali melakukan adalah Nabi sendiri. Bukankah beliau berpuasa hari senin karena itu hari kelahiran beliau ? Coba lacak hadisnya. bagi saya PHBI itu merupakan 1 cara dari sekian banyak metode dakwah. termasuk dakwah lewat internet. jangan paksakan keterbatasan pengetahuan Kita untuk diikuti orang lain.

    • Abu Zuhriy al Gharantaliy

      Coba berikan BUKTI bahwa Rasuulullaah dan Shahabatnya merayakan hari lahir nabi SETIAP TANGGAL 12 RABI’UL AKHIR pada setiap tahunnya…

      Sebagaimana mereka mempeingati idul fithri pada 1 syawal, dan idul adha 10 dzulhijjah…

      Yang kami mintakan disini adalah sebagaimana yang diperbuat kaum muslimin sekarang… BUKAN SHAUM SUNNAH hari senin…

      Kalau anda tiap senin shaum sunnah, maka anda mengikuti nabi…

      Tapi kalau anda tiap TANGGAL 12 RABI’UL AWWAL mengadakan perayaan, sebgaimana perayaan idul fithri dan idul adha pada 1 syawal dan 10 dzulhijjah TIAP TAHUNNYA… Maka mohon datangkan hujjah kepada kami, akan kesunnahan hal tersebut…

      Jangan bawa-bawa internet, internet tidak ada di zaman nabi…

      Adapun perayaan hari besar, maka ini sudah ada di zaman nabi… Ada idul fithri dan ada idul adha… Nabi mampu, dan tidak ada yg menghalangi beliau utk melakukannya…

      Jangan juga anda memaksakan hal-hal baru yang anda buat-buat untuk diikuti dan diterima orang lain, sampai anda mendatangkan hujjah yang nyata atas pengamalan anda itu…

      Silahkan dipaparkan disini

  11. Kalau arti sunnah sayyiah dalam HR. Muslim No 1017 yang ustad sampaikan sebagai contoh di atas itu apa? lalu sunnah hasanah dalam hadist tersebut mengapa artinya menjadi menghidupkan satu sunnah? bukankah hasanah itu artinya baik/kebaikan?

    • “Sunnah” disini ‘menghidupkan’ atau ‘meneladankan’…

      Sunnah hasanah = menghidupkan/meneladankan (sesuatu) yang baik.
      Sunnah sayyi`ah = menghidupkan/meneladankan (sesuatu) yang buruk.

      Jangan dibawa kepada makna “sunnah” secara istilah (yaitu segala hal yang ditetapkan Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam; karena jelas juga konteks dalam hadits, yang dimaui adalah makna secara bahasa, bukan istilah). Wallaahu a’lam

Tinggalkan komentar