Menasehatinya atau meninggalkannya?

Ketika seorang pezina melihat temannya akan melakukan perzinahan, ia berpikir, apakah ia akan menasehatinya atau tidak.. Kalau ia menasehati, maka ia melarang sesuatu yang ia sendiri melakukannya.. Kalau ia membiarkan, maka ia meninggalkan ingkarul mungkar, sehingga menyebabkan temannya jatuh kepada perzinahan.. Apa yang seharusnya dilakukan olehnya?

Pada dasarnya:

(1) Memerintahkan untuk berbuat ma’ruf (tapi ia sendiri tidak berbuat ma’ruf) atau melarang untuk berbuat mungkar (tapi ia sendiri berbuat kemungkaran) adalah hal yang SANGAT TERCELA

Sebagaimana dalam firmanNya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

(QS. As-Shaff: 2-3)

dan juga firmanNya:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab? Maka tidaklah kamu berpikir?”

(QS. Al-Baqarah: 44)

Dan juga dari sunnah, sebagaimana sabda Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut:

“Saat malam Isra’ Mi’raj aku melintasi sekelompok orang yang bibirnya digunting dengan gunting dari api neraka.”

“siapakah mereka?”, tanyaku kepada Jibril.

Jibril mengatakan, “mereka adalah orang-orang yang dulunya menjadi penceramah ketika di dunia. Mereka sering memerintahkan orang lain melakukan kebaikan tapi mereka lupakan diri mereka sendiri padahal mereka membaca firman-firman Allah, tidakkah mereka berpikir?”

(HR. Ahmad, Abu Nu’aim dan Abu Ya’la. Menurut al-Haitsami salah satu sanad dalam riwayat Abu Ya’la para perawinya adalah para perawi yang digunakan dalam kitab shahih)

(2) Disisi lain, meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, baik seluruhnya atau sebagiannya [karena ada sebagian kelompok sesat yang mengatakan, “dakwah itu amar ma’ruf saja”, sedangkan kelompok sesat lainnya berkata, “dakwah itu nahi mungkar saja”]; adalah hal yang SANGAT TERCELA juga.

Karena Allåh berfirman:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Dan hendaklah ada di antara kalian, segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.”

(QS. Ali Imran: 104)

Ayat diatas membantah dua kelompok sesat, yang menganggap dakwah hanyalah salah satu dari amar ma’ruf atau nahi mungkar.

– Allåh memuji orang yang melakukan amar ma’ruf, (untuk bantahan kepada kelompok sesat yang mereka meyakini dakwah hanyalah nahi mungkar saja)


وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’. “

(QS. Fushilat: 33)

– Allåh melaknat orang yang meninggalkan nahi mungkar (untuk bantahan kepada kelompok sesat yang mereka meyakini dakwah hanyalah amar ma’ruf saja)

فَلَوْلَا كَانَ مِنَ الْقُرُونِ مِنْ قَبْلِكُمْ أُولُو بَقِيَّةٍ يَنْهَوْنَ عَنِ الْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّنْ أَنْجَيْنَا مِنْهُمْ ۗ وَاتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا مَا أُتْرِفُوا فِيهِ وَكَانُوا مُجْرِمِينَ

Maka MENGAPA TIDAK ADA dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang MELARANG DARI (MENGERJAKAN) KERUSAKAN di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.

(Huud: 116-117)

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ كَانُواْ لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ

“Telah DILAKNATI orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. MEREKA satu sama lain selalu TIDAK MELARANG TINDAKAN MUNGKAR YANG MEREKA PERBUAT. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”

(Al-Ma`idah:78-79)

– Allåh akan menurunkan adzab dan tidak mengijabah doa orang yang meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar

Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):

“Demi yang jiwaku di tanganNya hendaklah kalian beramar ma’ruf dan nahi munkar, atau (kalau tidak,) hampir-hampir Allah akan menurunkan adzab kepada kalian kemudian kalian kemudian kalian berdo’a dan tidak dikabulkan.”

(Hadits hasan riwayat ahmad dan tirmidzi)

– Allåh akan menuntut orang yang tidak mengingkari kemungkaran pada hari kiamat

Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):

إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيُسْأَلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَكُونَ فِيمَا يُسْأَلُ عَنْهُ أَنْ يُقَالَ

“Sungguh, pada hari kiamat salah seorang dari kalian benar-benar akan ditanya, hingga sesuatu yang ditanyakan kepadanya adalah;

مَا مَنَعَكَ أَنْ تُنْكِرَ الْمُنْكَرَ إِذْ رَأَيْتَهُ

‘Apa yang menghalangimu untuk mengingkari kemungkaran ketika engkau melihatnya? ‘” b

beliau bersabda:

فَمَنْ لَقَّنَهُ اللَّهُ حُجَّتَهُ قَالَ رَبِّ رَجَوْتُكَ وَخِفْتُ النَّاسَ

“Maka bagi orang yang hujahnya didektekan oleh Allah, ia berkata; ‘Wahai Rabb, aku mengharap-mu, tapi aku juga takut kepada manusia.'”

“Sesungguhnya Allåh pasti bertanya kepada seorang hamba pada hari kiamat; hingga Dia bertanya, “apa yang menghalangimu jika melihat kemungkaran untuk mengingkarinya?” Jika Allåh telah mengajarkan hujjah kepada hambaNya tersebut, hamba tersebut berkata, “Ya Råbbku, aku berharap kepadaMu dan aku takut kepada manusia”

(Hadits hasan riwayat ahmad, ibnu majah, dan ibnu hibban)

Lantas bagaimana menjawabnya?

Kita simak perkataan para salafush shåleh berikut:

Sa’id bin Jubair mengatakan,

“Jika tidak boleh melakukan amar makruf dan nahi mungkar kecuali orang yang sempurna niscaya tidak ada satupun orang yang boleh melakukannya.”

Ucapan Sa’id bin Jubair ini dinilai oleh Imam Malik sebagai ucapan yang sangat tepat.

(Tafsir Qurthubi, 1/410)

Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata kepada Mutharrif bin Abdillah,

“Wahai Mutharrif nasihatilah teman-temanmu.”

Mutharrif mengatakan,

“Aku khawatir mengatakan yang tidak ku lakukan.”

Mendengar hal tersebut, Hasan Al-Bashri mengatakan,

“Semoga Allah merahmatimu, siapakah di antara kita yang mengerjakan apa yang dia katakan, sungguh setan berharap bisa menjebak kalian dengan hal ini sehingga tidak ada seorang pun yang berani amar makruf nahi mungkar.”

(Tafsir Qurthubi, 1/410)

Al-Hasan Al-Bashri juga pernah mengatakan,

“Wahai sekalian manusia sungguh aku akan memberikan nasihat kepada kalian padahal aku BUKANLAH orang yang paling shalih dan yang paling baik di antara kalian. ”

“Sungguh aku memiliki banyak maksiat dan tidak mampu mengontrol dan mengekang diriku supaya selalu taat kepada Allah.”

“Andai seorang mukmin tidak boleh memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah mampu mengontrol dirinya niscaya hilanglah para pemberi nasihat dan minimlah orang-orang yang mau mengingatkan.”

(Tafsir Qurthubi, 1/410)

Sedangkan Imam Nawawi mengatakan,

“Para ulama menjelaskan orang yang melakukan amar makruf dan nahi mungkar tidaklah disyaratkan haruslah orang yang sempurna, melaksanakan semua yang dia perintahkan dan menjauhi semua yang dia larang.”

“Bahkan kewajiban amar makruf itu tetap ada meski orang tersebut tidak melaksanakan apa yang dia perintahkan. Demikian pula kewajiban nahi mungkar itu tetap ada meski orangnya masih mengerjakan apa yang dia larang.”

“Hal ini dikarenakan orang tersebut memiliki dua kewajiban:

Pertama, memerintah dan melarang diri sendiri,
Kedua memerintah dan melarang orang lain.

Jika salah satu sudah ditinggalkan bagaimanakah mungkin hal itu menjadi alasan untuk meninggalkan yang kedua.”

(Al-Minhaj, 1/300)

Ibnu Hajar menukil perkataan sebagian ulama,

“Amar makruf itu wajib bagi orang yang mampu melakukannya dan tidak khawatir adanya bahaya menimpa dirinya meskipun orang yang melakukan amar makruf tersebut dalam kondisi bermaksiat.”

“Secara umum orang tersebut tetap mendapatkan pahala karena melaksanakan amar makruf terlebih jika kata-kata orang tersebut sangat ditaati. Sedangkan dosa yang dia miliki maka boleh jadi Allah ampuni dan boleh jadi Allah menyiksa karenanya. ”

“Adapun orang yang beranggapan tidak boleh beramar makruf kecuali orang yang tidak memiliki cacat maka jika yang dia maksudkan bahwa itulah yang ideal maka satu hal yang baik. Jika tidak maka anggapan tersebut berkonsekuensi menutup pintu amar makruf jika tidak ada orang yang memenuhi kriteria.”

(Fathul Baari, 14/554)

Wallåhu a’lam

Semoga bermanfa’at

Sumber

– Antara kata dan perbuatan, oleh: Ustadz Aris Munandar hafizhåhullåh, http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/antara-kata-dan-perbuatan.html

– Kitab amar ma’ruf nahi mungkar, menurut ahlus-sunnah wal jama’ah, karya al-Ustadz Yazid bin ‘Abdil Qådir Jawwas hafizhåhullåh.

Tinggalkan komentar

Filed under dakwah

Tinggalkan komentar